Vaksinasi. Kayanya masalah satu ini
menarik utk saya bahas melihat masih
ada pihak yg ghuluw dlm
menyikapinya, baik dr yg pro maupun
kontra.
Yg pro vaksin, ghuluw dlm melihat
fatwa ulama tanpa mengkritisi
kelemahan fatwa2 tsb. Yg anti vaksin,
ghuluw dlm perkara konspirasi.
Lalu, kedua belah pihak saling
menghujat satu sama lain pdhal tdk
harus begitu jg ujungnya. Sayang
ukhuwah kan?
Dan kmrn ada pernyataan dr Menkes
yg kemudian memicu reaksi
masyarakat, perihal sertifikasi halal
obat dan vaksin.
Lalu ada jg tanggapan seorg ustadz
mengenai statement Menkes, & berikan
dukungan kpd vaksinasi dan obat yg
dikatakan sbg "mantan babi" itu.
Permasalahan dlm vaksinasi adlh
kandungan babi yg ada dlm proses
pembuatan vaksin. Ini masalah utama
yg menjadikan vaksin sbg perdebatan.
Ada yg membolehkan vaksin dg
mengangkat kaidah jika zatnya sdh
berubah maka yg haram bisa menjadi
halal. Bbrp contoh pun diangkat.
Contoh spt binatang jalalah, cuka yg
dibuat dr khamr, dst. Ini menjadi
landasan utama bagi pro vaksin
membolehkan kandungan babi dlm
vaksin.
Saya mengkritisi pandangan ini, krn
saya melihat banyaknya celah yg terdpt
dlm argumen tsb. Namun saya tdk
menolak sepenuhnya pendapat itu.
Dlm Hadits Arbain, Imam Nawawi
meriwayatkan sebuah hadits yg
menjelaskan bahwa yg halal sdh jelas,
demikian jg yg haram sdh jelas.
Makna yg terkandung dlm hadits ini
adlh apa yg telah Allah halalkan maka
ia halal, apa yg Allah haramkan maka
jangan dihalalkan.
Jadi dlm menimbang apakah vaksin itu
halal / haram, maka kita perlu merujuk
kpd kaidah ini. Terutama terkait pd
kandungan babi dlm vaksin.
Kembalikan kpd hukum asal dr babi,
yaitu najis. Dan setiap yg najis adlh
haram, kecuali kondisi yg
menjadikannya najis sdh hilang.
Nah, apakah najis dlm kandungan babi
yg ada dlm vaksin sdh hilang? Tentu
belum, krn ia berupa zat yg tdk berubah
bentuk juga sifatnya.
Jadi kandungan babi dlm vaksin, mnrt
saya, tetaplah najis krn ia adlh zat yg
diambil dr sesuatu yg najis, yaitu babi
itu sendiri.
Walaupun begitu, kita perlu jg melihat
realita masyarakat saat ini sblm kita
mengharamkan vaksinasi secara
mutlak. Mengapa demikian?
Pertama, saya tekankan sekali lg, bhw
kandungan babi dlm vaksin adlh najis.
Argumentasi bahwa zatnya sdh
berubah tersangkal dg banyak hadits yg menjelaskan keharaman
babi walaupun sdh berubah zat. Rasul
melarang penjualan minyak babi utk
digunakan sbg cat/ minyak lampu.
Kedua, salah satu maqashid syari'ah
(tujuan syari'ah) adlh utk melindungi
jiwa, shg penerapa syari'at dlm hal ini
bisa berubah jika darurat.
Hal darurat ini bisa merubah hukum
najisnya kandungan babi dlm vaksin
menjadi boleh sbg rukshah dr Allah,
sbgmn dijelaskan dlm Al Qur'an.
Nah, terkait dg poin 2 ini, kita perlu
melihat tujuan dr vaksinasi tersebut.
Vaksinasi dilakukan dg tujuan
meningkatkan daya imun tubuh.
Dlm hal ini, vaksinasi ditujukan sbg alat
imunisasi tubuh thdp berbagai
penyakit. Jadi, bisa dikatakan
vaksinasi bertujuan melindungi jiwa.
Tp apakah hal ini menjadikan vaksinasi
boleh krn dinilai darurat? Tunggu dulu.
Krn sesuatu dikatakan darurat jika tdk
ada pilihan lain.
Dlm hal imunisasi tubuh, vaksinasi
bukan satu2nya alternatif solusi. Ia
hanya salah satu kondisi. Ada banyak
alternatif lain sblm vaksin.
Vaksinasi tdk bisa dinyatakan langkah
darurat. Masih ada alternatif solusi yg
lbh utama drpd vaksin utk
meningkatkan daya imun tubuh.
Pertama, kira hrs tempuh dulu alternatif
solusi yg lbh jelas halalnya, tdk
diselimuti syubhat. Salah satu solusi
adlh thibunnabawi.
Mengkonsumsi madu, habbats, dll,
menjadi salah satu solusi yg utama
sblm kita bisa menjadikan vaksinasi
sbg alternatislf solusi.
Lalu, peningkatan gizi pada anak juga
menjadi solusi alternatif selain
thibbunnabawi. Peningkatan gizi
terbukti ilmiah dpt meningkatkan daya imun tubuh, shg langkah ini
layak ditempuh sbg upaya pencegahan
utama thdp penyakit drpd langkah
vaksinasi thdp anak.
Saya yakin masih ada banyak langkah
lain yg jelas halalnya dan tdk terdpt
syubhat sblm vaksinasi dpt dikatakan
sbg solusi darurat.
Tp rukshah terhdp daruratnya vaksinasi
tetap masih terbuka, HANYA JIKA
pilihan alternatif solusi yg utama tdk
dpt dilakukan.
Kita perlu akui, bahwa masyarakat kita
terjerembab dlm dua kondisi utama yg
menjadikan vaksin sbg darurat, yaitu
kebodohan dan kemiskinan.
Kita perlu akui, bahwa masyarakat kita
terjerembab dlm dua kondisi utama yg
menjadikan vaksin sbg darurat, yaitu
kebodohan dan kemiskinan.
Pertama, masyarakat kita masih
banyak yg bodoh dlm masalah
thibbunnabawi shg mereka tdk
melihatnya sbg pilihan yg layak
diutamakan.
Kedua, mereka juga terhalang dari
informasi mengenai gizi yg tepat dan
baik utk meningkatkan gizi anak
mereka.
Ketiga, mereka juga terhalang
rezekinya krn kedzaliman sistemik
ribawi, shg mereka tdk mampu membeli
makanan sehat atau thibbunnabawi.
Ketiga kondisi tsb menjadikan vaksinasi
sbg sebuah pilihan darurat yg mereka
harus ambil demi menjaga kesehatan
anak mereka.
Krn itu, vaksinasi bisa menjadi boleh
secara terbatas dlm kondisi
masyarakat yg miskin dan bodoh spt
layaknya masyarakat kita saat ini.
Kebolehan dlm vaksinasi hrs dilihat sbg
langkah darurat yg mereka ambil krn
mereka terhalang dr mengambil
alternatif solusi lain yg halal.
Nah, kini kita beranjak pada poin ketiga
dlm masalah vaksinasi, stlh saya
berikan pandangan saya dlm hukum
dan rukshah dlm vaksinasi.
Sebuah kaidah penting yg sering
dilupakan oleh pro vaksin, bahwa
ketika Allah haramkan sesuatu maka
Allah jg haramkan jual belinya.
Ini terkait dg rukshah yg diberikan kpd
mereka yg boleh menjadikan vaksinasi
sbg pilihan. Hal ini tdk merubah najis
yg ada dlm vaksin.
Rukshah kebolehan vaksinasi tdk
menjadikan kandungan babi dlm vaksin
tsb menjadi halal. Ia tetap sebuah
najis, ini hrs dipahami betul.
Artinya, vaksin tsb tetaplah sesuatu yg
haram dan krn itu berlaku jg hukum
haramnya memperjualbelikan vaksin
thdp mereka yg mendpt rukshah.
Jadi walaupun ada rukshah thdp
vaksinasi utk mereka yg miskin atau
bodoh, jual beli vaksin atau menarik
upah dr vaksinasi tetaplah haram.
Nah, itu tiga poin yg menjadi pendapat
saya dlm masalah vaksinasi. Jika ada
kesalahan, saya mohon koreksi thdp
kedha'ifan diri saya ini.
*copas kultwit akun @stiqbl
Tidak ada komentar:
Posting Komentar