Minggu, 10 Desember 2017

MENCARI KAMBING PUTIH DIBALIK INFEKSI DIFTERI

Akhir2 ini dunia sosial media dihebohkan oleh tulisan2 yg penuh hate speech, mengkambinghitamkan sekelompok org yg menjaga diri dari kesyubhatan dan keharaman, dan melabelisasi mereka dg antivaksin. Ada tulisan yg berbeda dr seorg dokter yg meyakini bahwa sakit dan penyakit itu tdk berkaitan dg vaksin atau tidak divaksin.

MENCARI KAMBING PUTIH DIBALIK INFEKSI DIFTERI
Oleh: dr. Susilorini, M.Si.Med., SpPA
dicopy paste atas seijin penulis aslinya

Bidang ilmu saya adalah Patologi Anatomi yaitu ilmu yang menjelaskan tentang penyakit dan mekanismenya.

Dalam mempelajari penyakit ada 5 kaedah pokoknya.

1. Etiologi dan patogenesis
2. Gambaran morfologi
3. Manifestasi klinik.
4. Komplikasi
5. Prognosis

Bila kita bicara penyebab, maka penyebab penyakit  tidak ada yang tunggal. Penyebab (etiologi) selalu multifaktor.

Dalam hal penyakit infeksi, berdasarkan kaedah postulat Koch, tadinya ilmuwan berpikir bahwa penyebab infeksi hrs tunggal dan semua disebut patogen. Zaman Koch teknologi memang masih jadul. Jadi untuk identifikasi mikroba masih mengandalkan teknologi kultur.

Karena keterbatasan metode kultur waktu itu mikroba lain yang harus dikultur dalam kondisi anaerob tidak bisa terdeteksi.

Saat ini di era yang lebih canggih kelemahan metode metode kultur bisa dipecahkan dengan teknologi sekuensing. Sehingga saat ini mulai diketahui bahwa apa yang dulu dianggap murni patogen itu belum tentu patogen.

Ternyata tubuh manusia mirip seperti Bumi yang punya banyak ekosistem dan kaya flora dan fauna. Sedangkan tubuh disusun oleh mikroba. Saat ini yang baru dipetakan baru bakteri.

Bakteri pun terbagi-bagi sesuai sifat interaksinya dan kemampuannya berkoloni. Ada yg disebut pribumi, pendatang, ada yang penjajah.

Keanekaragaman ekosistem mikrobiota dalam tubuh manusia dipengaruhi banyak faktor seperti daerah geografis, pola makan, life style, kondisi PH, kelembaban, suhu, hormonal, dan lainnya.

Bila kita bicara daerah tropis, tentu ekosistemnya berbeda dengan daerah subtropis. Di dalam ekosistem hutan tropis misalnya kita bisa jumpai harimau, ular, kodok, elang, rusa, gajah, dan lainnya yang harus dijaga keseimbangannya. Dalam kondisi seimbang sepertinya tdk ada cerita harimau atau gajah menyerang pemukiman manusia, bukan?

Nah tubuh manusia itu mirip seperti analogi ekosistem hutan tropis atau subtropis. Sejatinya manusia adalah mikroba berjalan. Bakteri, virus,virusjumlahnya dan lainnya jumlahnya lebih banyak dari selnya sendiri.

Dengan perkembangan teknologi yang sudah bisa memetakan secara metagenomic dan metabolomic. Diketahui mikroba yang dahulu dianggap patogen ternyata blm tentu patogen. Seperti yang disebutkan sebelumnya, mikroba diklasifikasikan menjadi dua secara garis besar, mikroba residensial ( pribumi), dan pendatang ( yang cuma jalan2 atau penjajah).

Mikroba residensial ini disebut mikroba komensal. Di tiap area tubuh bisa berbeda - beda baik jenis dan jumlahnya. Mulut paling kaya akan mikroba residensial. Ada sekitar 700 spesies yang baru diketahui. Di bagian ujung mulut dengan di belakang lidah bisa berbeda keanekaragamannya.

Yang sering ditakuti adalah kelompok corynebacterium (yang terkenal adalah c. Diphteria), kelompok Neisseria (yang paling terkenal N. Meningitidis), dan kelompok clostridium (yg terkenal adalah C. Tetani). Mereka diketahui merupakan microbiome yang normal ada di tubuh manusia. Terutama di daerah yang dianggap endemis. Di daerah non endemis mungkin bisa beda jenis dan jumlah microbiomenya.

Maka pemetaan microbiome harus memperhatikan empat domain epidemiologi. Meliputi orang sehat di daerah endemis, orang sakit di daerah endemis, orang sehat daerah non endemis dan orang sakit di daerah non endemis. Kenapa demikian? Ya biar tdk ada bias (Yang paham statistik pasti tahu artinya).

Mikroba komensal berdasarkan sifat interaksinya dengan sel tubuh manusia dibagi lagi menjadi simbion, amfibion dan pathobion. Mikroba yang sering dipakai oleh syaitan berbentuk manusia untuk nakut-nakuti termasuk mikroba patobion.

Pathobion artinya dalam beberapa kondisi dia bisa merugikan tubuh. Akan tetapi dalam lingkungan yang seimbang sebenarnya pathobion bisa jadi baik dan bermanfaat.

Corynebacterium difteri yang paling tenar saat ini adalah patobion di kulit dan di mulut. Ada sesama corynebacterium tapi dia bersifat simbion. Namanya corynebacterium accolens. Banyak di lubang hidung kita (jadi di upil kita banyak c. accolens). Dia bisa memproduksi peptida yang bersifat antibiotik. Diduga bisa mengalahkan bakteri sekelas pneumokokus. 

Yang menarik pd anak yang mendapat asi, jumlahnya lebih banyak dibanding yang tidak mendapat asi atau bayi yang minum susu formula.

Corynebacterium itu ada bermacam-macam yg bersifat simbion. contohnya c. accolens, yg patobion C Diphteria. Mereka bagian ekosistem tubuh kita, yg menguni kulit dan mulut.

C. Dipheteria yg toksik itu krn perubahan lingkungan, seperti rendahnya besi dan krn infeksi bakteriofag yg disebut corynefag.

Dalam sejarahnya ditemukan menginfeksi org yg alkoholik dan orang-orang yg social ekonominya rendah (ada kaitannya dg TBC dan anemia). Sifat toksin diketahui labil terhadap panas dan juga dapat dipecah dg protease spt tripsin. Mekanisme toksisitasnya terjadi mll ikatannya dg reseptor khusus pada sel inang.
Tdk semua manusia punya reseptor ini. Individu yg rentan diketahui mengkspresikan banyak reseptor ini. Dan ada individu yg resisten krn tdk punya resrptor ini.

Untuk lbh  memudahkan memahami ini bisa dianalogikan dg hiv 1. Hiv bisa menginfeksi sel T krn sel t punya reseptor thdnya. Ada individu yg tdk punya reseptor ini. Dan yg menakjubkan reseptor ini kemungkinan bisa didown regulasi oleh virus small pox.

Back to C. Diptheria.

C. Diptheria tidak selalu membahayakan. Dia dianggap berbahaya karena bisa memproduksi eksotoksin dalam kondisi lingkungan yang berubah. Ilmuwan menemukan bahwa dia memproduksi toksin bila kondisi lingkungannya rendah besi. Besi adalah sumber kehidupannya (mungkin dlm kondisi stress kalo besinya kurang).

Menariknya, bukti epidemiologi menunjukkan infeksi difteri sering didapatkan pada penderita tuberkulosis. Sering terjadi penderita TBC juga mengalami anemia defisiensi besi. Tapi memang harus diteliti lebih lanjut tentang mekanisme ini.

Menurut hipotesa para ilmuwan, hal ini karena bakteri mycobacterium tuberkulosis, bakteri yang menyebabkan TBC,  doyan banget sama besi. Mungkin c. Difterinya marah kali ya sama mycobacterium, arena rebutan besi (Wallahu a'llam saya nggak tahu bahasa para bakteri ...)

Selanjutnya, C. Diphteria menjadi marah kemudian mengeluarkan toksin. Dia juga marah kalau diusik oleh bakteriofag. Sejenis virus yang bisa menginfeksi bakteri yang disebut corynefag.

Toksin yang dikeluarkan c. Diphteria ini semacam tintanya cumi-cumi, dikeluarkan sebagai mekanisme defense mungkin. Dan tubuh manusia responnya bisa bermacam-macam terhadanya.

C. diphteria hidup di kulit dan mulut yang keduanya dilapisi sel epitel. Permukaannya juga terlindungi oleh zat zat kimia. Kalo di kulit ada keringat, minyak dan enzim lizosim . Di mulut ada air ludah. Belum lagi kalau kita bicara sel epitel kulit dan mulut. Allah juga memdesainnya sangat canggih. Bisa memproduksi anti mikroba jahat.

Belum lagi kita bicara tentara tentara tubuh di sekitarnya yang senjatanya canggih nggak cuma antibodi. Untuk menetralisir racun  tidak cukup antibodi. Antibodi hanya pembungkus dan semacam borgol saja agar racun bisa dijinakkan oleh fagosit (tentara-tentara tubuh yg berfungsi menghancurkan racun).

Yang repot jika fagosit yang bertugas memakan racun tidak berfungsi dengan baik. Pada orang yang menderita TBC memang diketahui ada disfungsi pada salah satu sel fagosit yaitu makrofag. Selain itu zat merusak spt rokok, logam berat, polutan juga bisa menyebabkan disfungsi pd makrofag kita.

Jadi intinya, probabilitas orang sakit karena toksin (racun) bakteri cukup rendah. Kecuali ada faktor pertahanan host yang rusak parah. Justru yang terbesar adalah karena faktor manusia sebagai hostnya.

Tidak semua manusia punya kerentanan yang sama terhadap penyakit. Penelitian membuktikan bahwa ada individu yang lebih rentan dan sebaliknya ada yang resisten .

MasyaAllah ... resisten secara genetik. Siapa yang lebih rentan? Tentu individu yang cacat benteng tubuhnya, punya hipersensitifitas, cacat genetik kerena mutasi, atau karena ada variasi genetik seperti polimorfisme, defisiensi vitamin A dan D yang penting untuk regulasi pertahanan dan produksi anti mikroba, defisiensi besi, keseimbangan mikrofloranya terganggu (disbiosis), dan lainnya.

Faktornya sangat individual. Tdk selalu sama faktor penyebabnya.

Kalau kita bicara siapa yang kebal? Kebal artinya resisten secara genetik, maka secara genetik toksin tidak bisa meracuni selnya. Jadi benar benar sudah dari sononya dibikin kebal sama Allah. Caranya? Wallahu a'llam ... kita pelajari pelan-pelan ya.

Jadi kita harus tahu dulu tentang bagaimana mekanisme toksin merusak sel. Seperti toksin difteri yang bisa meracuni sel bila berikatan dengan bagian-bagian dari membran sel tubuh kita yang disebut reseptor. Reseptornya spesifik diberi nama Hb-egf. Setelah berikatan maka toksin ini akan diteruskan masuk ke dalam sel melalui mekanisme yang disebut endositosis. Masuk ke dalam bangunan dalam sel yang berbentuk kantung yang disebut endosom. Prosesnya rumit.

MasyaAllah semua dalam kendali Allah.

Nah ada org yang rentan karena memiliki jumlah reseptor terlalu banyak. Yang kebal memiliki reseptor lebih sedikit atau bisa dikatakan hampir tidak punya. Sebenarnya dalam proses endositosis toksin akan didegradasi melalui proses enzimatik melibatkan protease dalam sel. Dan harus bekerja dalam PH tertentu. Pada orang menderita TBC diketahui rentan terjadi gangguan dalam regulasi PH di dalam endosom.

Untuk membuat rentan atau kebal secara genetik adalah kuasa Allah, sangat mudah bagi-Nya untuk melakukannya. Contohnya, dengan mengutak-atik reseptornya. Reseptor bisa dinaikkan dan bisa diturunkan, bahkan bisa diblok.

Menarik, yang sudah ditemukan ilmuwan adalah metode mengutak atik reseptor dengan memanfaatkan virus seperti virus small pox, virus campak dll.

Bahkan ditangan ilmuwan yang hobi utak atik gen, toksin difteri bahkan bisa digunakan untuk senjata pembunuh kanker. Seperti kanker prostat, ovarium, otak, dan lainnya.

Disbiosis, diversitas mikrobiota yang berubah. Mungkin harus dipetakan bagaimana karakteristik microbiota orang orang yang sakit parah atau yang sakit ringan dibandingkan dengan yang sehat. Diambil dari  empat domain epidemologi. Hal ini juga berarti bahwa etiologi/penyebab penyakit infeksi tidak mungkin hanya kerena faktor keganasan mikrobanya.

Back to etiologi yang multifaktor, salah satu faktor selain host yg terpenting adalah faktor lingkungan mikro.

Jadi, yg berbahaya dr c. Diphteria itu racunnya. Racunnya ini bersifat racun eksotoksin. Jadi dikeluarkan dr sel bakteri. Bekerja merusak sel mll ikatan dg reseptor. Di tingkat seluler sebenarnya tdk ada sel khusus yg menjadi target kerusakannya. Atau dlm bhs ilmiahnya,  tdk ada sifat tropisme. Kalau hiv beda. Hiv punya sifat tropisme dg sel limfosit T. Maka semua sel yg punya reseptor ya bisa rusak.

Terutama di permukaan dalam mulut yg dilapisi mukosa yg tersusun atas sel keratin (mirip dg kulit) hanya kalo dikulit ada lapisan keratin. Di dlm mukosa dlm mulut tidak.

Nah, karakteristik sel keratin ini memang unik, punya reseptor thd egf, disebut egfr, tiap2 individu berbeda2 jumlahnya.

Di mukosa
mulut ini pertahanannya bersifat berlapis. Sebelum sempat bersentuhan dg reseptor sel keratin seharusnya toksin akan menghadapi benteng yg tdk mudah ditembus, yg melapisi permukaan epitel. Lapisan ini berasal dr air ludah maupun dr apa yg diproduksi sel keratin sendiri.

Di ludah ada banyak enzim protease, defensin, epidermal growth factor (EGF). Sitokin, TnF alfa, dan lainnya, yg logikanya cukup ampuh menetralisir racun.

Selain itu keratin sendiri kalo ada alarm bahaya juga bisa mengeluarkan banyak senjata termasuk defensin

Belum lagi kalo ada alarm bahaya keratin juga bisa berkomunikasi dg mengeluarkan sinyal memanggil dan membangunkan tentara2 yg berjaga2 di sekitarnya.

Sel-sel penjaga di sana banyak ada yg prajurit rendah hingga setingkat pasukan khusus bersenjata canggih (tapi sepertinya nggak ada yg kayak densus ya 😅)

Mungkin nk cell itu bisa disebut setingkat densus, nggak perlu pengenalan, tembak ditempat.

Nah, harusnya toksin ini didegradasi oleh para tentara tubuh, terutama sekelas penjinak bom ... seperti makrofag.

Makrofag ini hanya bisa mendegradasi racun dg berat molekul yg besar, dan menempel di permukaannya. Maka untuk netralisasi toksin ini butuh molekul lain spt komplemen atau antibodi

Yang menjadi masalah bila makrofag ini mengalami disfungsi. Maka akan banyak molekul toksin yg terikat antibodi beredar kemana-mana, disebut kompleks antigen antibodi.

Kalau sudah begini biasanya tergantung kompleks antigen itu mau dibawa kemana oleh darah dan menempel di mana.

Kalau nempel di sel jantung, akhirnya sel jantung rusak. Kalau sdh rusak dan mati, kerusakan bisa tambah diperparah bila matinya sel itu mengaktifkan peradangan akut disekitarnya. Dlm hal toksin difteri yg sering terkena selain sel epitel adalah sel Jantung dan sel syaraf

Biasanya kelainan ini akan juga diperparah bila regulasi untuk mengontrol peradangan ini rusak.

Pada orang-orang yg alergi, punya autoimun, hipersensitifitas tipe lain, tgf beta, dan sel T yg berfungsi menekan radangnya rendah (sel t regulator)

Hal ini bisa memperparah dan menimbulkan komplikasi

Orang yg mengalami defisiensi vitamin A mekanisme kontrol terhadap radang biasanya juga rendah. Krn salah satu efek dari vitamin A memicu diferensiasi sel T mjd sel T regulator dan produksi tgf beta.

Demikian pula produksi antibodi sIgA juga dipengaruhi vitamin A.

Selain itu org yg mengalami defisiensi vit D. Orang yg defisiensi vit D maka produksi defensin dan kontrol terhadap peradangannya juga rendah. Mekanismenya hampir mirip dg vitamin A.

Karena vitamin D juga punya peran dlm kontrol peradangan.

Jadi dapat disimpulkan, patogenesis kerusakan sel, jaringan dan organ karena toksin difteri itu secara garis besar terjadi melalui dua mekanisme, yaitu:

1. Daya rusak toksin itu secara lokal
2. Reaksi imunologis yg cascadenya dipengaruhi  oleh banyak faktor meliputi efek radang akut dan reaksi hipersensitifitas

Yang kedua ini biasanya efeknya sistemik.

Lanjut ke gambaran morfologi.

Secara lokal, toksin mempengaruhi epitel. Jadi sel epitel  yg rusak biasanya akan berusaha bertahan dg memproduksi keratin.
Dan itu merupakan efek sekunder atau komplikasi.

Normalnya di rongga mulut kan tidak berkeratin. Keratin ini yg akhirnya menimbulkan gambaran keputihan. Maka diagnosis bandingnya banyak.

Dan gambaran ini sebenarnya tdk spesifik karena toksin difteri saja. Karena dg rangsangan lain pun reaksinya demikian.

Kalau sampai selnya mati dan sel yg mati pecah, maka akan memicu peradangan. Peradangan memicu sekresi lendir dan kematian sel lebih lanjut. Karena ada benda2 ini tubuh reaksinya berusaha melokalisir. Jadi sebenarnya radang itu bermanfaat bila terkontrol.

Dan batuk itu adalah upaya tubuh mengeluarkan dahak. Karena lapisan epitel yg bersilia di dlm nasofaring terangsang.

Yg repot ya itu tadi, ada org yg regulasi peradangannya rusak. Apalagi ada disfungsi makrofag.

Kalau seperti ini racun bisa kemana2, memicu reaksi hipersensitifitas. Nyangkut di  limfonodi, jantung, syaraf ...jadinya meradang. Bisa juga terjadi anemia hemolitik.

Gambaran morfologinya bermacam2, ada leukoplakia, sebukan sel radang, area nekrosis luas. Tapi ini tdk khas untuk difteri.

Maka diagnosis pasti bukan dg pemeriksaan PA. Tapi dg kultur dan karakterisasi kumannya dg teknologi Rt PCR dan juga ditemukan produksi toksinnya.

Dari sini sebenarnya sdh bisa diketahui manifestasi kliniknya.

Tulisan yg beredar sudah cukup ya. Tapi yg perlu saya garis bawahi adalah manifestasi klinik ini derajatnya berbeda2. Yg ringan ya terbatas lesi lokal saja. Yang parah, ya yg sampai ke mana2 tadi. Bahkan ada yg sehat2 saja walau terpapar.

Secara Ilmiah, maka out comenya terbagi menjadi beberapa tingkatan.

1. Yang sehat disebut sub klinis/asimptomatik. 2. Yang ringan paling demam dan batuk ringan. 3. Yang parah tergantung faktor pemberat dan peringan serta penanganan.

Prognosisnya, kalau yg asimptomatik artinya sembuh sempurna. Kalau yg ringan, ya sembuh sempurna. Nah, yg berat ya tergantung faktor-faktor tadi. Saya blm cek berapa persennya menurut data epidemiologi ya.

Wallahu a'lam bish-shawwab.

Bila ada kebenaran dari yg saya sampaikan itu semata-mata dari Allah. Segala kesalahan itu datangnya dari hamba yg lemah akalnya yg hanya bisa meraba-raba di antara luasnya Ilmu Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar