Rabu, 20 Desember 2017

MEME & LGBT

Beredar di grup wa meme plesetan dari istilah LGBT. Mungkin ada banyak variasi meme nya saya tidak tahu. Yang saya jumpai di grup, kepanjangannya diubah jadi 'Laginyetir Ga Boleh Telfon' dengan foto pak polisi di meme tersebut. Tujuan meme itu adalah kampanye save driving atau aman dalam berkendara untuk menghindari kecelakaan disebabkan kelalaian karena menggunakan ponsel saat mengemudi.

Terus terang saya risih.

Saya yakin pihak kepolisian punya cara lain yang lebih bijak dalam mengampanyekan save driving selain memanfaatkan singkatan LGBT dalam kampanyenya. Sebuah tujuan yang baik tidak lantas membenarkan cara yang diambil.

Maka tolong saya mohon pada teman-teman, stop bikin meme plesetan singkatan LGBT yang jauh dari arti aslinya. Jangan lakukan itu. Jangan buat meme nya. Jangan sebarkan gambar meme nya.

Kenapa?

Oke, katakanlah saya lebay atau over reacted. Tapi saya melihat ini justru sebagai upaya halus membuat LGBT diterima di masyarakat. Dengan memlesetkan singkatannya, membuatnya menjadi candaan, secara perlahan kita dibuat untuk terbiasa dengan istilah ini. Alam bawah sadar kita akan memandangnya sebagai hal yang biasa.
"Eh, ga usah parno dengan LGBT. Kan ada singkatan lainnya yang ga bermakna buruk."
Nope! LGBT itu sudah paten maknanya seperti itu. Konotasinya sudah negatif. Ga usah disangkal lagi. Mau dikasih kepanjangan lain yang unyu-unyu atau konyol, tetap makna awalnya adalah lesbian, gay, bisexual, transgender. Itu udah valid dari awal singkatan itu ada.

So please, jangan beri ruang terhadap upaya pemakluman atau penggeseran makna dari LGBT. Mau diniatin bercanda pun, J-A-N-G-A-N.
Lagipula, dalam Islam tidak diperkenankan berbohong dalam bercanda. Apalagi ini bawa-bawa istilah yang sifatnya dimurkai Allah.

Tolong yaa...jangan bikin meme yang ga penting kalau masih sayang dengan fitrah anak-anak kita. Jangan beri ruang sama sekali istilah tersebut untuk diterima sebagai hal di luar konotasi aslinya. Setidaknya ini yang bisa kita lakukan jika belum mampu mendakwahkan kepada orang-orang yang terkena penyakit LGBT untuk sembuh.

Keep calm and spread the truth.

-ecp-

Minggu, 10 Desember 2017

Tragedi Filipina, KIPI, dan Bisnis Raksasa Dunia

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:  Rudi Agung  *) 

Ada baiknya, sebelum membaca tulisan ini menyiapkan kopi dulu. Seperti biasa, oretan ini lumayan panjang. Mencakup data bisnis vaksin yang nilai penjualannya amat sangat mencengangkan. Mudah-mudahan bisa jadi bahan perenungan.

Saat ini, bangsa Indonesia hidup dalam realitas yang dibentuk media massa dan media sosial. Pada akhirnya, kita pun dipaksa tunduk pada narasi tunggal. Apa contohnya? Vaksin. Kok bisa? Mari simak.

Beberapa hari lalu, Filipina diguncang skandal vaksin demam berdarah yang justru membuat kondisi penderita semakin buruk. Lebih dari 730 ribu anak mendapat suntikan vaksin Dengvaxiasepanjang 2016. Tiga nyawa pun melayang. Presidennya langsung turun tangan. Mantan Menkes yang menangani proyeknya siap diinvestigasi. Luar biasa Filipina. Padahal bukan negara Muslim.

Masyarakat setempat pun turun ke jalan mendesak peredaran dan program vaksin dihentikan. Untungnya, Kementerian Kesehatan setempat resmi menghentikan penggunaan vaksin DBD yang diproduksi Sanofi. Penghentian dilakukan usai ditemukan bukti: mereka yang terjangkit DBD malah semakin parah.

Kantor Kepresidenan Filipina memastikan seluruh pihak yang bertanggung jawab akan diproses sesuai hukum. Tragedi Fhilipina yang menjalankan program vaksin dari WHO dan menelan korban, mengingatkan kita pada vaksin MR.

Tapi, amat jauh berbeda. Korban KIPI vaksin MR lebih dari tiga. Ini belum termasuk yang sakit, diopname, lumpuh. Alih-alih diberi kompensasi. Alih-alih program dihentikan dan vaksin ditarik. Diakui sebagai KIPI saja tidak. Padahal, dampak yang diperoleh korban hanya hitungan hari dan minggu setelah divaksin.

KIPI adalah Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi, yaitu suatu kejadian medis, yang terjadi setelah dilakukan vaksin. Sampai saat ini, masyarakat sendiri masih banyak yang belum mengetahui Kipi. Tak heran, para korban malah disalahkan. Kadang mereka sendiri tak sadar menjadi korban KIPI usai vaksin dilakukan.

Sekarang, kita main logika. Jika ada korban kecelakaan di jalan, apa iya kita ramai-ramai bilang: "Kami juga pengendara, tapi kok tidak kecelakaan." Mustahil kan kita tega berkata demikian saat melihat atau mendengar ada kecelakaan.

Meski kecelakaan itu akibat kelalaian sendiri seperti ngantuk, mabuk atau ugal-ugalan. Tapi tetap saja sebagai makhluk sosial kita berempati pada korban. Jiwa kita pasti terpanggil. Merasakan duka, empati, simpati, dan atau doa bagi korban.

Begitu pula saat ada korban kebakaran, perampokan atau sekadar kecopetan dompet. Tapi, saat bermunculan berita korban KIPI: opname, koma, bahkan ketika sederet korban sampai wafat. Kita berubah sikap dengan cepat.

Tiba-tiba kita tega berucap, "Anak saya habis divaksin tidak apa-apa." Serempak justru menyalahkan pasien yang punya penyakit, padahal faktanya para korban sehat sebelum vaksin. Rambut manusia saja berbeda. Apalagi daya tahan tubuh. Toh, tetap saja dipaksa dimasukan vaksin jenis sama.

Ketika mereka taat pada kampanye vaksin MR tanpa sertifikasi halal MUI, saat jadi korban malah dinafikan. Orangtua korban diminta bungkam. Dengan cepat pun kita menyangkal itu bukan kasus Kipi.

Standar ganda yang amat bahaya, sekaligus mengenaskan bagi umat manusia sebagai makhluk sosial. Apalagi bagi umat Muslim. Dua sikap bertolak belakang pada musibah yang tak diinginkan manusia. Kenapa empati kita harus memilih-milih korban? Kalau ada korban virus, berempati. Pada korban KIPI, malah dibully.

Padahal menurut WHO, KIPI dibagi menjadi tiga kategori, hal-hal berkaitan kegiatan imunisasi, reaksi terhadap sifat-sifat yang dimiliki vaksin yang bersangkutan. Ketiga, koinsidensi atau kejadian secara bersama tanpa ada hubungan satu sama lain.

Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin terjadi karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Penjelasan Kipi ini dilansir di situs bumndotgo/biofarma.

Tapi sekali lagi. Dengan dalih koinsidensi pun tetap saja korban yang disalahkan. Orangtua dibungkam. Padahal, koinsidensi bisa karena kesalahan petugas dan proses saat program berjalan. Eh, korban dan korban yang disalahkan. Aneh bukan? Entah apakah WHO tahu. Sebab, akan menarik jika WHO tahu Indonesia tak memiliki KIPI, lantaran selalu dinafikan. Ini prestasi bila Indonesia zero KIPI.

Maka Indonesia bisa menjadi acuan role model bagi negara-negara maju yang menerima pengaduan vaccine injury hingga mengeluarkan kocek anggaran yang besar. Amerika dan negara besar bisa meniru Indonesia. Karena di sana masih ada VAERS yang jujur dan terbuka.

Mereka masih harus membayar kompensasi bagi korban KIPI. Jadi, WHO dan negara maju bisa berguru ke Indonesia. Zero Kipi, tak ada VAERS, tak perlu bayar kompensasi.

Enak toh, kalau ada korban setelah vaksin, tinggal satukan suara: tak terkait vaksin. Sejak awal program, selalu diklaim tidak ada Kipi, yang berhubungan dengan vaksin. Meski korban terus berjatuhan.

Narasi tunggal
Masih ingat saat Pilpres? Bangsa ini digiring media massa pada sosok yang merakyat, sederhana, mampu mengatasi masalah bangsa, super duper sempurnalah. Sang kandidat pun terpilih. Hasilnya? Anda yang bisa merasakan sendiri. Ini satu contoh pembentukan realitas sosial oleh media massa dan media sosial yang memaksa kita tunduk pada narasi tunggal. Begitu pula narasi vaksin.

Selama ada program vaksin MR lalu, opini digiring: wabah, darurat, vaksin MR halal. Narasi tunggal dibentuk: vaksin MR penting. Faktanya, tak ada darurat tampek atau rubela, tak ada wabah, vaksin untuk pencegahan meraih target 2020. Sertifikasi halal pun tak ada sampai program selesai. Bahkan, sampai 23 Oktober 2017 sertifikasi masih diupayakan. Padahal MR sudah digagas sejak 2015. Sebaliknya yang ada, korban berjatuhan. Tak diakui pula sebagai KIPI.

Hari-hari ini narasi serupa kembali dibentuk: vaksin dianggap solusi lagi. Kasus difteri tiba-tiba mencuat, 32 korban wafat akibat penyakit itu, lalu dengan cepat dibuat status KLB. Dengan sangat tergesa-gesa disimpulkan: difteri muncul karena cakupan imunisasi kurang.

Dengan kilat pula: per 11 Desember 2017 akan dimulai ORI atau vaksin serentak sampai Juli 2018. Kalau MR dari usia 0-14 tahun, difteri kali ini sasarannya usia 1-19 tahun. Lebih luas dari MR. Ini kesempatan emas bagi sales. Eehh

Pertanyaannya: Bulan apa saja korban meninggal? Kenapa langsung ORI, apakah hanya alibi menghabiskan stok vaksin yang telah diproduksi? Kenapa pula cepat sekali menyimpulkan difteri karena cakupan imunisasi kurang. Padahal, korban difteri ada yang imunisasinya sudah lengkap. IDAI sendiri menganalisis, salah satu penyebab difteri lantaran imunisasi gagal membentuk antibodi secara maksimal pada anak (Rol, 5/12/2017). Tapi kenapa malah bakal ada vaksin massal lagi? Aneh. 

Hal sama ketika vaksin MR. Kinanti, misalnya. Bocah perempuan berusia empat tahun asal Garut digerogoti virus Rubella setelah ia memperoleh vaksin MR. (Rol: Rubella yang Diderita Kinanti Kian Parah Pascavaksinasi MR, 10/10/2017).

Dalam catatan Infodatin, Pusat Data Informasi Kemenkes RI, edisi April 2016 merinci situasi imunisasi Indonesia. Data itu menyebut, sejak tahun 2011 cakupan imunisasi pada anak sekolah selalu di atas 90 persen untuk semua jenis imunisasi.

Data Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, menyebut: Tren cakupan DPT3 antara tahun 2007-2015 memperlihatkan kondisi yang konstan. Cakupan pada periode itu sudah tinggi, yakni 90-100 persen. Begitu pula tingginya cakupan imunisasi Dt dan Td. Hanya beberapa provinsi yang rendah, itu pun karena ketersediaannya berkurang. Sedang kasus difteri tahun 2015, hanya 37 persen yang belum memperoleh imunisasi DPT3. Data ini diupdate, 13 Mei 2016.

Tapi kenapa tiba-tiba saat difteri mencuat, disebut mayoritas belum imunisasi. Padahal, cakupan imunisasi nasional selalu tinggi. Lalu bagaimana relevansinya dengan klaim herd immunity yang dianggap sakti? Kenapa pula solusinya selalu dengan vaksin? Sebagai orang awam, amat banyak pertanyaan dan kejanggalan difteri dan tergesanya ORI atau kebijakan vaksin massal lagi.

Kalau kita sakit kepala, misalnya. Obatnya macam-macam. Ada obat warung, obat apotik. Dari tablet, kapsul, cair, pelbagai merk. Ada generik, ada yang mahal. Ada pula yang tradisional. Satu jenis penyakit, solusi obatnya banyak. Mereknya pun beragam.

Tapi, kenapa kalau soal vaksin tidak demikian? Ada penyakit, solusinya vaksin. Usai divaksin pasien malah sakit, tapi mereka yang disalahkan. Untuk vaksin tak pernah salah. Inilah narasi tunggal yang selalu dimainkan berulang-ulang. Sadarkah kita?

Dalam obat pun ada istilah Rational Use of Medicine, pihak medis tak boleh sembarang memberi resep segambreng. Pasien pun diharap aktif menanyakan kegunaan obat yang diresepkan. Tapi, kenapa tidak ada Rational Use of Vaccine? Apakah ada jaminan seluruh nakes mengetahui kandungan vaksin, dampak jangka pendek dan panjangnya? Kebanyakan, nakes hanya menjawab: tugas, ditarget.

 Apakah selama ini prioritas program vaksin hanya untuk mengejar target cakupan imunisasi? Untuk apa? Toh ketika cakupan tinggi, tetap saja ada vaksin ulang. Begitu seterusnya. Di sinilah perputaran ekonomi vaksin begitu menggiurkan.

Bahkan, dalam kasus MR sampai membuat MUI berang. MUI menegaskan vaksin MR Halal, itu bohong. (Detik, MUI: Kalau Ada yang Bilang Vaksin MR Halal, Itu Bohong!, 12/10/.2017). Luar biasa, potret pembohongan publik yang telanjang.

Jadi teringat oretan saya ihwal vaksin terdahulu yang sampai ditanggapi beberapa dokter. Baik tulisan di media ini mapun di media Hidayatullah. Tapi, hanya sekali saya tanggapi balik. Untuk apa? Buang energi.

Sejak awal publik hanya meminta bukti tiga hal: sertifikasi halal MR, pelayanan terhadap korban Kipi, vaksin tak perlu dipaksa. Tapi, tetap saja alasannya muter-muter. Dan sudah diduga, sampai program MR usai, ketiganya tak bisa dibuktikan. Bahkan sampai sekarang tak ada. Dan difteri ini, apakah vaksinnya halal? Entah.

Atau mungkin kita sudah tak peduli lagi pada kehalalan. Syubhat hajar, haram tak apalah. Naduzbu billah. Ketika kita telah membiasakan pada hal syubhat, maka perut ini akan mudah menerima yang haram.

Dan kenapa ketika ada kasus, selalu harus dengan vaksin? Bukankah ini sama saja mengkerdilkan jutaan apoteker, dokter, ilmuan. Saya amat yakin, mereka mampu menciptakan solusi selain vaksin. Seperti ilustrasi sakit kepala di atas. Dus, jika melakukan vaksin pada hewan saja prosedurnya ketat tapi kenapa program vaksin pada anak-anak Indonesia seolah seadanya. Terburu-buru, demi target tertentu.

Bukankah suatu penyakit juga dipengaruhi banyak faktor? Pola hidup, kebersihan lingkungan, gizi, gen, lainnya. Bukan melulu karena tidak vaksin. Bayangkan jika dana program vaksin digunakan untuk pembuatan sanitasi misalnya. Di Jakarta saja masih ada 220 RW yang masuk dalam kawasan kumuh. Bagaimana di daerah?

Masih banyak sarana kesehatan tidak laik. Masih banyak masyarakat yang pola hidup dan kebersihannya di bawah standar. Kenapa selalu vaksin yang diutamakan? Padahal tubuh manusia berbeda, tapi diseragamkan menerima zat kimia sama, tanpa tahu kehalalannya.

Vaksin, bisnis raksasa dunia
Jadi teringat ketika oretan sebelumnya mengaitkan vaksin dengan bisnis, lalu dibantah seorang dokter. Katanya, tak ada kaitan vaksin dengan bisnis. Barangkali, patut diingat gurihnya pendapatan vaksin dalam data berikut ini:

Sebagai penyegar ingatan, kita cuplik tayangan CNN Indonesia yang bisa diintip di YouTube. Klik saja: "Vaksin, Bisnis Raksasa Dunia". Asyik kan judulnya?

Menarik mengamati paparan presenter. Sebagai pembuka, ia menghentak kita. Katanya: "Vaksin tidak melulu soal kesehatan. Ada uang, ada vaksin. Ada bisnis besar di balik sebaran vaksin di seluruh dunia, termasuk Indonesia." Ia pun membeber datanya.

Tahun 2014, keuntungan vaksin global mencapai Rp 33,1 miliar dolar As. Tahun 2016, menurun menjadi Rp 24 miliar dolar. Tahun 2019, diprediksi bakal melonjak di kisaran Rp 57,9 miliar dolar As. Ini data Litbang CNN Indonesia.

Sekarang, coba amati: tahun 2016 turun dibanding 2014. Lalu, sejak itu program vaksin makin digencarkan. Di Indonesia, tahun 2017 malah dimasukan tiga program vaksin baru. Salah satunya, MR.

Seiring itu, produsen vaksin asal Indonesia BUMN Biofarma, menaikan target omsetnya dari Rp 2,6 triliun di 2016, menjadi Rp 3 triliun di 2017. Dan menaikan target pasar dalam negeri.

Lihat data Biofarma, pendapatan penjualan vaksin selalu meningkat. Hasil penjualan vaksin BUMN ini, tahun 2011 sebesar Rp 1,32 triliun. Tahun 2012, Rp 1,43 triliun. Tahun berikutnya, melonjak menjadi Rp 1,84 triliun. Tahun 2015, meningkat lagi menjadi Rp 2,04 triliun. Tahun 2015, melesat pula di angka Rp 2,34 triliun. Begitu pula 2016. Apakah kebetulan dengan target keuntungan global di 2019 sebesar Rp 57,9 miliar dolar As? Walau pangsa terbesar mereka luar negeri.

Tak berbeda jauh data WHO. Bahkan WHO menjadikan vaksin sebagai mesin farmasi. Simak data bertajuk: Global Vaccine Market Features and Trends. Data ini ditulis Miloud Kaddar, Senior Adviser, Health Economist. WHO, IVB, Geneva.

Dokumen itu merinci pendapatan global hasil penjualan vaksin dan rencana pengembangan ke depan yang amat wow. Termasuk negara potensial yang dibidik menjadi sasaran pangsa pasar utama. Salah satunya, Indonesia!!!

Hal menarik, di laman 6 tertulis, Vaccines: becoming an engine for the pharmacheutical industry. Luar biasa bukan? Jadi, tidak ada kaitan antara vaksin dengan bisnis? Mari tertawa dalam kesedihan.

Untuk mencapai target, biasanya perlu narasi. Apa? Ya narasi tunggal bernama: vaksin penting. Narasi yang mendatangkan uang. Sila cek harga vaksin. Dari Posyandu, Puskesmas, dokter spesialis anak, sampai di rumah sakit swasta. Vaksin memiliki grade berbeda, dengan harga yang bedanya cukup jauh.

Kenapa pula vaksin harus diulang? Kalau tidak, "Antibodi dalam tubuh akan habis atau berkurang, sehingga kemungkinan anak terserang penyakit akan lebih besar," terang Prof. Dr. Sri Rezeki H. Hadinegoro, Sp.AK, dilansir Kompas, 1/11/2010. (Mengapa Vaksin Harus Diulang).

Jika demikian dimana kesaktian herd immunity? Bukankah vaksin bisa mencegah penyakit. Kenapa harus diulang-ulang? Apakah hanya untuk mendulang pendapatan? Kalau antibodi dalam tubuh berkurang, ngapain harus vaksin? Ada yang bayar pula.  Runtuh sendiri kan narasi tunggal: herd immunity.

Kalau tahun 2009, mantan Menkes Siti Fadilah pernah menolak vaksin. Kenapa saat ini jutsru makin menggencarkan vaksin? Anda yang mampu menjawabnya.

Alasan Menkes Siti Fadilah ketika itu, salah satunya, masih ada alternatif lain selain vaksin. Bahkan jika pun mewabah, ia akan menyarankan masyarakat menggunakan masker dan diam di rumah. Badai flu babi pun berlalu. (Detik, Menkes Tolak Tawaran Flu Babi, 15/7/2009).

Kebijakan politik, memang menggelitik. Loh apa kaitannya? Harga kerupuk di warung tetangga saja terkait dengan kebijakan politik. Apalagi program resmi pemerintah. Apalagi vaksin, yang angka penjualannya amat menggiurkan.

Kita pun patut ingat, pemerintah yang tak menjalankan syariat-Nya, bukanlah ulil amri. Tapi saat ini opini dibolak balik, lagi-lagi hanya demi vaksin. Bahkan, halalan thayyiban pun dibalik. Selaiknya halal dulu, baru baik. Jangan halalnya malah dikesampingkan. Mau jadi apa bangsa ini? MUI sendiri telah menegaskan, hanya dua vaksin yang dipastikan kehalalannya.

Kalau Filipina bisa menghentikan program vaksinnya dan menarik vaksin itu, kenapa Indonesia justru menggencarkan vaksin? Meski berbeda jenisnya, tapi sama-sama makan korban. Dan masih saja vaksin diutamakan. Demi apa? Dalam program vaksin MR, publik telah menyaksikan sendiri: adanya ketidakadilan, ketidak jujuran dan ketidak terbukaan. Kini, mau ada vasin massal lagi? Haduh.

Bukankah kita juga masih ingat? Dalam program-program vaksin sebelumnya, kerap meninggalkan jejak korupsi. Dari meningitis sampai flu burung. Jejak kasusnya terserak di pelbagai media. Bagaimana dengan MR dan berikutnya? Mudah-mudahan KPK, BPK, Polri, selalu semangat menelisiknya.

Dan saat ini ada 120 jenis vaksin baru yang sedang dikembangkan. Pas sekali, CNN Indonesia mengangkat judul: Vaksin, Bisnis Raksasa Dunia! Benar-benar bisnis mempesona, yang diracik dengan aneka alasan. Masa bodoh kehalalan. Bangsa ini selalu ditundukan pada narasi tunggal, yang kerap merusak akal sehat.

Semoga para Ulama dan umat Muslim lebih peduli lagi mendesak pentingnya kehalalan vaksin. Darurat pun jangan selalu dijadikan alasan. Mari hormati para apoteker, dokter, ilmuan, yang pasti mampu menemukan solusi: selain vaksin. Shalaallahu alaa Muhammad.

*) pemerhati masalah sosial

http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/12/07/p0ksp3396-tragedi-filipina-kipi-dan-bisnis-raksasa-dunia

KEBINGUNGAN TERHADAP VAKSIN

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Eka Puspita Arumaningtyas *)

Latar saya sama sekali tak berkaitan medis atau dibanding suami yang dari kimia murni. Saya hanyalah ibu rumah tangga yang sayang pada anak-anak. Basic saya hanya astronomi, yang begitu menikmati literasi lintas ilmu. 

Nah sebagai seorang ibu, saya ingin memastikan segala hal yang masuk ke tubuh anak jelas aman tak berdampak. Saya tak perlu background ilmu terkait untuk sekadar bertanya tanya dan berpikir bukan? Justru ini langkah menggugurkan salah satu kewajiban sebagai ibu untuk memastikan kesehatan mereka (anak-anak).

Awal mula saya ragu dengan vaksin adalah adanya fakta keponakan saya yang sudah divaksin campak, ternyata tetap kena campak. Anak saya sudah vaksin BCG, tapi tetap kena TBC. Ditambah kegalauan karena penggantian vaksin polio tetes ke suntik. Diperparah informasi ibu saya sebagai nakes bahwa vaksinasi BCG yang gagal harus diobati layaknya pengobatan TBC.

Dari pengalaman itu, saya menyimpulkan tampaknya penelitian tentang vaksin belum tuntas. Belum bisa menjawab banyak fenomena janggal.

Memang betul vaksin dibuat dengan teknologi sains yang mutakhir. Namun, pembenaran vaksin adalah satu satunya solusi, membuat saya belum yakin.

Karena kita tidak bisa melakukan penelitian langsung pada manusia. Kita tidak bisa menguji 100 anak yang sengaja dipaparkan penyakit rubella dalam kondisi yang diatur untuk melihat statistik berapa persen yang sakit dan tidak.

Semoga tidak hanya data-data mengerikan menyangkut dampak tidak divaksin yang selalu dikemukakan. Sedangkan, dampak korban usai vaksin atau KIPI, malah dikesampingkan. Hal ini sama sekali bukan sains karena sains tidak condong hanya pada satu sisi.

Para provaks menyatakan, vaksin mampu mengurangi jumlah pasien di dunia. Bagaimana pembuktiannya?

Sesederhana dari fakta bahwa setelah divaksin memang jumlah penderita berkurang. Padahal, apakah berkurang betul karena vaksin? Tidak adakah faktor lain yang memengaruhi?

Katakanlah penarikan logikanya memang benar. Berarti, kita juga bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa KIPI memang disebabkan vaksin. Alasannya sederhana, karena sebelum divaksin kondisinya normal.

Mengapa mereka berusaha berkelit dan berbelit selama investigasi KIPI? Mencari alasan bagaimana vaksin tak disalahkan? Sedangkan dalam melihat kesehatan mereka begitu gampang menyatakan vaksinlah super heronya, tanpa melihat bagaimana kualitas gizi, sanitasi, dan gaya hidup masyarakat yang diuji?

Satu peristiwa saja cukup untuk dijadikan dasar penentuan Kejadian Luar Biasa, namun mengapa satu saja KIPI tak cukup membuat para nakes dan pihak terkait melakukan evaluasi. Seharusnya jika tujuannya murni untuk kesehatan dan keselamatan manusia di dunia, satu saja laporan dampak negatif vaksin cukup sebagai alasan untuk meneliti ulang vaksin yang ada. Bahkan, belum lama ini, Filipina yang notabene bukan negara Muslim, menarik vaksin DBD karena menelan korban. 

Setahu saya, tidak ada ciptaan manusia yang sempurna, hanya Allah yang Kuasa melakukannya. Semoga pihak terkait tidak memosisikan diri sejajar dengan Tuhan. Hingga yakin 100 persen bahwa vaksin satu satunya solusi kesehatan.

Saya tidak antivaksin. Asal vaksin yang sekarang ada 100 persen aman untuk manusia. Tidak boleh ada satupun anak-anak yang terkena side effeknya. Jika memang ada vaksin seperti ini saya akan dengan senang hati memvaksin anak-anak saya.

Tapi, selama nakes dan pihak terkait selalu menolak data-data KIPI, di situ saya mulai ragu. Mengapa demikian? Apakah karena tidak mau disalahkan dan ketidakmampuan membuat vaksin yang 100 persen aman?

Bagaimana menguji bahwa vaksin aman? Pengujiannya harus pada manusia. Karena program vaksin pemerintah ini untuk manusia bukan untuk hewan.

Coba disuntik 1.000 anak dengan vaksin tertentu dan dikarantina dalam suatu lokasi yang tertentu kondisinya, lantas lihat bagaimana efeknya? Apakah percobaan seperti ini tidak dilarang? Bagaimana bisa manusia boleh dijadikan kelinci percobaan?

Tapi, mengapa vaksin polio tetes tiba-tiba diganti dengan suntik? Jangan-jangan semua vaksin yang beredar suatu saat juga akan diganti dengan yang lebih baik? Apakah itu artinya vaksin yang sekarang diedarkan dan dinyatakan aman hanya karena belum ada laporan menyimpang? Tidak ada laporan menyimpang karena semua laporan yang masuk ditolak dan dimentahkan?

Bagi saya ini adalah kejanggalan.

Seharusnya setiap anak sebelum diimunisasi harus di cek laboratorium dulu kondisi imunitasnya. Kenyataannya, tidak satupun paramedis yang memberi anjuran untuk hal ini. Selain biayanya mahal hasilnya pun tidak instan. Mereka main suntik saja tanpa mengerti gimana kondisi tiap anak.

Kondisi imunitas anak pastinya berbeda. Ya jangankan imunitasnya, bakat kan juga beda-beda. Anehnya, kenapa hanya ada satu jenis vaksin untuk kondisi tubuh anak yang beda-beda ini?

Saya khawatir karena satu jenis vaksin untuk semua inilah yang memicu gejala gejala imunitas yang tidak diinginkan. Semoga tidak bikin error sesuatu yang seharusnya baik-baik saja.

Vaksinasi memasukkan sesuatu ke dalam tubuh untuk memancing limfosit menghasilkan suatu antibodi. Tujuannya, melatih agar tubuh mengenali jenis jenis antigen.

Saya jadi bertanya, apa benar tubuh harus dilatih dulu? Bukannya saat kena penyakit tubuh otomatis akan menghasilkan antibodi?

Saya bertanya-tanya, mengapa generasi manusia bisa bertahan hidup sekian ratus ribu tahun lamanya padahal vaksin baru ini saja ditemukan? Ataukah setiap tubuh manusia sejak lahir sudah dibekali insting/kemampuan melawan penyakit?

Saya merasa perlu bertanya apa kandungan vaksin? Apakah komposisinya memang tidak memberi efek samping bagi tubuh? Apakah merkuri, alumunium, dll dalam vaksin tidak akan merusak jaringan tubuh? Saya tidak tahu.

Di negara maju (Amerika, Australia, dan lain-lain) banyak laporan anak jadi autis, asma, alergi, dan sebagainya setelah diimunisasi. Bahkan, beberapa ada yang meninggal. Ya, memang belum ditemukan bagaimana korelasinya. Tapi, bagi kami ibu-ibu awam, hal ini, sudah cukup mengerikan. Bagaimana kalau anak saya mengalami nasib sama?

Saya sedih kalau ada laporan orang sakit dan meninggal lantas dinyatakan bahwa itu salah orang yang tidak divaksin. Saya juga bingung kalau ada yang bilang orang yang sehat, padahal tak divaksin karena jasa orang-orang yang divaksin.

Kalau setelah divaksin saja masih bisa sakit, bagaimana bisa dibilang orang yang divaksin melindungi orang lain? Saya bingung.

Faktor kebersihan lingkungan, asupan gizi individu, dan penanganan medis ketika sakit apakah tidak berpengaruh? Mungkin perlu dibuktikan apakah dua orang satu divaksin satu tidak divaksin bila tinggal di lingkungan yang kotor tetap akan sama sama sakit. Apakah dua orang, satu divaksin, satunya tidak divaksin bila kurang gizi tetap akan sama sama sakit?

Dua orang, satu divaksin, satu tak divaksin bila saat sakit tidak ditangani dengan tepat akankah keduanya bisa parah bahkan meninggal? Ataukah orang yang sakit kemudian jadi parah alasannya bukan karena dia tidak divaksin tapi lebih karena saat sakit tidak ditangani dengan benar? 

Apakah orang yang sudah divaksin juga sama? Apakah tenaga medis punya waktu menelisik lebih jauh latar belakang setiap pasien? Yang sakit tetanus lantas kejang dan meninggal tersebut, apa sudah dilihat latar belakang lingkungannya?

Vaksin sudah diuji

Sebenarnya, saya juga penasaran seperti apa proses pengujiannya? Jujur saja saya tidak pernah mendengar ada orang yang menceritakannya sebelum melakukan vaksinasi. Mungkin bisa saya dapat informasinya setelah tanya sana sini, googling sana sini. Bagi ibu-ibu yang tidak punya akses internet mungkin rasa penasarannya hanya terkubur dalam-dalam, tak pernah terjawab maupun dijawab.

Saya takut, manusia inilah uji coba vaksin. Semoga tidak demikian. Saya takut, side effect diteliti sambil jalan setelah vaksin digunakan. Semoga tidak demikian. Semoga ditelitinya tidak menunggu dulu ada laporan dari pengguna vaksin.

Tidak lapor bisa karena banyak alasan. Bisa karena kurang informasi sehingga menganggap sakitnya wajar, bisa jadi tidak tahu harus melapor pada siapa, atau mau lapor malah dapat tekanan dan ancaman, dan sebagainya. Banyak sekali faktor yang memengaruhi jumlah pelapor.

Kalau dinyatakan: Side effect vaksin menyebabkan gejala A dengan probabilitas 1: 100, 10: 500…. X:Y. Semoga sample manusia yang memang diteliti jumlahnya banyak karena akan berbeda bacaan meski sama sama 80 persen antara 100 orang dan 10 orang sample.

Saya justru tertarik melihat probabilitasnya. Bagaimana penentuan probabilitas X:Y. Bagaimana jumlah X dan Y ditentukan? Apakah sudah mencakup seluruh komponen pengguna vaksin?

Kalaupun dinyatakan mencakup keseluruhan komponen pengguna. Bagaimana bisa yakin anak saya bukan 1 diantara segelintir orang yang akan terkena side effeknya?

Saya yakin para pembuatnya bertujuan memberi solusi permasalahan. Semoga sebelumnya sudah diketahui betul solusi yang diberikan tidak akan menimbulkan permasalahan baru. Melihat penemuan nuklir, pestisida, penggunaan GMO, bahan pengawet, dan sebagainya, saya yakin tujuan awalnya mulia, tapi apakah side effectnya sudah tuntas diteliti sebelum dipasarkan? 

Baru ketika muncul banyak laporan negatif, manusia kebingungan dan ingin kembali hidup secara natural. Melihat ada banyak sekali manipulasi data kesehatan, konspirasi lembaga sekelas internasional, dan sebagainya. 

Sudah bulat keputusan saya untuk tidak menyerahkan begitu saja kesehatan anak kepada orang lain. Sayalah yang diberi amanah, maka saya pula yang harus menjamin kesehatan mereka. Saya harus memastikan segala tindakan memang aman untuk mereka agar tidak menyesal kemudian.

To all Patients, be literate and speak up. 

*) Penikmat literasi

http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/kabar/17/12/10/p0pt6j396-kebingungan-terhadap-vaksin 

KEKEBALAN KELOMPOK (HERD IMMUNITY)

oleh: Eka Puspita Arumaningtyas
diposting atas seijin penulis aslinya

“Kalau anakmu tidak divaksin,, jangan keluar rumah.. jangan masukin ke sekolah umum. Sekolah di rumah saja. Jangan menjadi penyebab ibu hamil keguguran atau ikut membunuh anak yang sudah diimunisasi. Vaksin bekerja pada basis populasi, bukan individual. Ini adalah isu kesehatan publik, bukan isu kesehatan individual. Kamu bebas minum sebanyak mungkin hingga hatimu pecah, bebas makan apapun yang kamu anggap sehat.. Tapi menjauhlah dari jalanan dimana kami lewat. Bagaimana jika polio dan campak masih menyebar? Apakah kamu akan mengambil resiko pada anak anakmu? Banyak orang yang mati karena penyakit ini. Orang yang tidak diimunisasi seharusnya berterimakasih kepada kami yang mendukung imunisasi.. berkat kami anak anak mereka tetap sehat meski tidak harus menangis menjerit jerit setiap kali disuntik vaksin.”
Familiar dengan kalimat kalimat di atas? Benarkah demikian? Benarkah Anak anak yang tidak diimunisasi harus diisolasi karena bisa menyebarkan penyakit berbahaya? Benarkah anak anak yang tidak diimunisasi bisa tetap sehat karena ikut numpang pada status kesehatan yang diperoleh oleh provaksin?
Herd Immunity..
Istilah Herd Immunity dijadikan alasan oleh para provaks untuk mendukung aksi vaksinasi masal. Istilah ini juga dijadikan pedang tajam untuk memberangus mereka yang menolak vaksinasi. Dengan dalih yang keji mereka memaksa setiap bayi, anak – anak, remaja, wanita produktif, ibu hamil, dll untuk melakukan vaksinasi.
Sebelum ikut ikutan berucap keji ada baiknya mengenal lebih jauh apa itu Herd Immunity.
Salim dulu sama Pak A. W Hedrich, ia adalah seorang peneliti dari USA yang pertama kali menggunakan istilah Herd Immunity. Ia meneliti penyakit campak yang sedang mewabah di USA tahun 1900 – 1930an. Tulisannya diterbitkan di jurnal super keren “American Journal of Epidemiology”. Dari hasil penelitiannya ia menyimpulkan bahwa ketika ada 68% populasi terinveksi oleh campak maka sistem imun dalam tubuhnya akan bekerja melawan penyakit tersebut. Ketika imunitas alami ini diperoleh oleh sekelompok mayoritas orang, mereka akan menyebarkan imunitas kepada orang lain disekitarnya meski tanpa gejala sakit. Dengan demikian wabah campak menghilang dengan sendirinya.
Herd immunity diperoleh dari imunitas alami.. bukan imunitas buatan yang selama ini digembar gemborkan.
Istilah herd immunity digunakan oleh para industri vaksin untuk memasarkan produknya. Padahal jauh sebelum vaksin dijual istilah ini sudah digunakan untuk sesuatu yang sama sekali berbeda dengan yang mereka suarakan.
Beberapa tahun belakangan terjadi wabah campak pada populasi yang 90% sudah diimunisasi di di Amerika. Bagaimana hal ini bisa terjadi jika memang “herd immunity” berfungsi? Banyak yang menyalahkan sedikit persen orang yang tidak diimunisasi.. Bukankah segelintir orang yang tidak diimunisasi ini seharusnya ikut terlindungi? Jika memang mengacu pada definisi herd immunity yang sebenarnya.
Jika ada suatu wabah apakah bisa diketahui siapa yang pertama kali menyebarkan penyakitnya? Bisa jadi yang pertama kali terinveksi adalah orang yang tidak diimunisasi. Demikian juga orang yang sudah diimunisasi juga tetap bisa terjangkit suatu penyakit tertentu. Justru yang patut dicurigai terlebih dahulu adalah orang yang dengan sengaja memasukkan berbagai macam penyakit ketubuhnya. Yakin penyakit tersebut benar benar lemah? Jika kondisi system imun yang bersangkutan lemah maka bisa jadi penyakit yang sengaja dimasukkan tersebut tidak akan memancing imunitasnya malah justru membuatnya sakit dan berpotensi menyebarkan kepada orang lain disekitarnya.
Dari data penelitian di Amerika tahun 1800an – 1900an menunjukkan tren yang menurun untuk berbagai macam penyakit jauh sebelum vaksin dikenalkan. Herd Immunity sudah terbentuk tanpa adanya program vaksinasi. Tapi lebih karena peningkatan sanitasi dan pola hidup yang lebih baik.
Injeksi vaksin tidak memberikan perlindungan seumur hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa imunisasi hanya efektif dalam beberapa bulan paling lama 10 tahun tergantung imunitasnya. Fakta menunjukkan bahwa banyak orang yang sakit beberapa saat setelah mendapat vaksinasi. Anak saya terkena TBC beberapa bulan setelah vaksinasi BCG. Ponakan saya terkena campak beberapa bulan setelah vaksinasi campak. Dan masih banyak contoh lainnya. Ribuan kasus komplikasi vaksin memenuhi persidangan di Amerika, Australia, dan Negara Negara lainnya. Mengapa tidak ada di Indonesia? Ah.. seharusnya tidak usah ditanya. Saya dan jutaan orang tua lainnya lebih memilih untuk diam saja.
Di mana kekuatan herd immunity yang diagungkan? Jangankan melindungi lingkungan sekitar.. melindungi individual saja gagal. De javu dengan kasus anak habis di vaksin trus malah sakit???
Jika mau aktif mencari informasi tentu akan menemukan banyak kasus komplikasi vaksin. Sayangnya jangankan mencari informasi, makanan saja kalau bisa yang instan dan praktis. Kalau bisa tinggal tiduran semua pekerjaan terselesaikan. Kalau bisa hanya dengan modal suntikan jadi sehat tak sakit sakitan.
Tapi itu semua bukan masalah. Terserah mau seinstan apa kita memilih untuk hidup. Masalah adalah ketika kita mulai menyalahkan orang lain atas segala hal yang tidak menyenangkan pada hidup yang sejatinya adalah hasil dari kecerobohan diri kita sendiri.

MENCARI KAMBING PUTIH DIBALIK INFEKSI DIFTERI

Akhir2 ini dunia sosial media dihebohkan oleh tulisan2 yg penuh hate speech, mengkambinghitamkan sekelompok org yg menjaga diri dari kesyubhatan dan keharaman, dan melabelisasi mereka dg antivaksin. Ada tulisan yg berbeda dr seorg dokter yg meyakini bahwa sakit dan penyakit itu tdk berkaitan dg vaksin atau tidak divaksin.

MENCARI KAMBING PUTIH DIBALIK INFEKSI DIFTERI
Oleh: dr. Susilorini, M.Si.Med., SpPA
dicopy paste atas seijin penulis aslinya

Bidang ilmu saya adalah Patologi Anatomi yaitu ilmu yang menjelaskan tentang penyakit dan mekanismenya.

Dalam mempelajari penyakit ada 5 kaedah pokoknya.

1. Etiologi dan patogenesis
2. Gambaran morfologi
3. Manifestasi klinik.
4. Komplikasi
5. Prognosis

Bila kita bicara penyebab, maka penyebab penyakit  tidak ada yang tunggal. Penyebab (etiologi) selalu multifaktor.

Dalam hal penyakit infeksi, berdasarkan kaedah postulat Koch, tadinya ilmuwan berpikir bahwa penyebab infeksi hrs tunggal dan semua disebut patogen. Zaman Koch teknologi memang masih jadul. Jadi untuk identifikasi mikroba masih mengandalkan teknologi kultur.

Karena keterbatasan metode kultur waktu itu mikroba lain yang harus dikultur dalam kondisi anaerob tidak bisa terdeteksi.

Saat ini di era yang lebih canggih kelemahan metode metode kultur bisa dipecahkan dengan teknologi sekuensing. Sehingga saat ini mulai diketahui bahwa apa yang dulu dianggap murni patogen itu belum tentu patogen.

Ternyata tubuh manusia mirip seperti Bumi yang punya banyak ekosistem dan kaya flora dan fauna. Sedangkan tubuh disusun oleh mikroba. Saat ini yang baru dipetakan baru bakteri.

Bakteri pun terbagi-bagi sesuai sifat interaksinya dan kemampuannya berkoloni. Ada yg disebut pribumi, pendatang, ada yang penjajah.

Keanekaragaman ekosistem mikrobiota dalam tubuh manusia dipengaruhi banyak faktor seperti daerah geografis, pola makan, life style, kondisi PH, kelembaban, suhu, hormonal, dan lainnya.

Bila kita bicara daerah tropis, tentu ekosistemnya berbeda dengan daerah subtropis. Di dalam ekosistem hutan tropis misalnya kita bisa jumpai harimau, ular, kodok, elang, rusa, gajah, dan lainnya yang harus dijaga keseimbangannya. Dalam kondisi seimbang sepertinya tdk ada cerita harimau atau gajah menyerang pemukiman manusia, bukan?

Nah tubuh manusia itu mirip seperti analogi ekosistem hutan tropis atau subtropis. Sejatinya manusia adalah mikroba berjalan. Bakteri, virus,virusjumlahnya dan lainnya jumlahnya lebih banyak dari selnya sendiri.

Dengan perkembangan teknologi yang sudah bisa memetakan secara metagenomic dan metabolomic. Diketahui mikroba yang dahulu dianggap patogen ternyata blm tentu patogen. Seperti yang disebutkan sebelumnya, mikroba diklasifikasikan menjadi dua secara garis besar, mikroba residensial ( pribumi), dan pendatang ( yang cuma jalan2 atau penjajah).

Mikroba residensial ini disebut mikroba komensal. Di tiap area tubuh bisa berbeda - beda baik jenis dan jumlahnya. Mulut paling kaya akan mikroba residensial. Ada sekitar 700 spesies yang baru diketahui. Di bagian ujung mulut dengan di belakang lidah bisa berbeda keanekaragamannya.

Yang sering ditakuti adalah kelompok corynebacterium (yang terkenal adalah c. Diphteria), kelompok Neisseria (yang paling terkenal N. Meningitidis), dan kelompok clostridium (yg terkenal adalah C. Tetani). Mereka diketahui merupakan microbiome yang normal ada di tubuh manusia. Terutama di daerah yang dianggap endemis. Di daerah non endemis mungkin bisa beda jenis dan jumlah microbiomenya.

Maka pemetaan microbiome harus memperhatikan empat domain epidemiologi. Meliputi orang sehat di daerah endemis, orang sakit di daerah endemis, orang sehat daerah non endemis dan orang sakit di daerah non endemis. Kenapa demikian? Ya biar tdk ada bias (Yang paham statistik pasti tahu artinya).

Mikroba komensal berdasarkan sifat interaksinya dengan sel tubuh manusia dibagi lagi menjadi simbion, amfibion dan pathobion. Mikroba yang sering dipakai oleh syaitan berbentuk manusia untuk nakut-nakuti termasuk mikroba patobion.

Pathobion artinya dalam beberapa kondisi dia bisa merugikan tubuh. Akan tetapi dalam lingkungan yang seimbang sebenarnya pathobion bisa jadi baik dan bermanfaat.

Corynebacterium difteri yang paling tenar saat ini adalah patobion di kulit dan di mulut. Ada sesama corynebacterium tapi dia bersifat simbion. Namanya corynebacterium accolens. Banyak di lubang hidung kita (jadi di upil kita banyak c. accolens). Dia bisa memproduksi peptida yang bersifat antibiotik. Diduga bisa mengalahkan bakteri sekelas pneumokokus. 

Yang menarik pd anak yang mendapat asi, jumlahnya lebih banyak dibanding yang tidak mendapat asi atau bayi yang minum susu formula.

Corynebacterium itu ada bermacam-macam yg bersifat simbion. contohnya c. accolens, yg patobion C Diphteria. Mereka bagian ekosistem tubuh kita, yg menguni kulit dan mulut.

C. Dipheteria yg toksik itu krn perubahan lingkungan, seperti rendahnya besi dan krn infeksi bakteriofag yg disebut corynefag.

Dalam sejarahnya ditemukan menginfeksi org yg alkoholik dan orang-orang yg social ekonominya rendah (ada kaitannya dg TBC dan anemia). Sifat toksin diketahui labil terhadap panas dan juga dapat dipecah dg protease spt tripsin. Mekanisme toksisitasnya terjadi mll ikatannya dg reseptor khusus pada sel inang.
Tdk semua manusia punya reseptor ini. Individu yg rentan diketahui mengkspresikan banyak reseptor ini. Dan ada individu yg resisten krn tdk punya resrptor ini.

Untuk lbh  memudahkan memahami ini bisa dianalogikan dg hiv 1. Hiv bisa menginfeksi sel T krn sel t punya reseptor thdnya. Ada individu yg tdk punya reseptor ini. Dan yg menakjubkan reseptor ini kemungkinan bisa didown regulasi oleh virus small pox.

Back to C. Diptheria.

C. Diptheria tidak selalu membahayakan. Dia dianggap berbahaya karena bisa memproduksi eksotoksin dalam kondisi lingkungan yang berubah. Ilmuwan menemukan bahwa dia memproduksi toksin bila kondisi lingkungannya rendah besi. Besi adalah sumber kehidupannya (mungkin dlm kondisi stress kalo besinya kurang).

Menariknya, bukti epidemiologi menunjukkan infeksi difteri sering didapatkan pada penderita tuberkulosis. Sering terjadi penderita TBC juga mengalami anemia defisiensi besi. Tapi memang harus diteliti lebih lanjut tentang mekanisme ini.

Menurut hipotesa para ilmuwan, hal ini karena bakteri mycobacterium tuberkulosis, bakteri yang menyebabkan TBC,  doyan banget sama besi. Mungkin c. Difterinya marah kali ya sama mycobacterium, arena rebutan besi (Wallahu a'llam saya nggak tahu bahasa para bakteri ...)

Selanjutnya, C. Diphteria menjadi marah kemudian mengeluarkan toksin. Dia juga marah kalau diusik oleh bakteriofag. Sejenis virus yang bisa menginfeksi bakteri yang disebut corynefag.

Toksin yang dikeluarkan c. Diphteria ini semacam tintanya cumi-cumi, dikeluarkan sebagai mekanisme defense mungkin. Dan tubuh manusia responnya bisa bermacam-macam terhadanya.

C. diphteria hidup di kulit dan mulut yang keduanya dilapisi sel epitel. Permukaannya juga terlindungi oleh zat zat kimia. Kalo di kulit ada keringat, minyak dan enzim lizosim . Di mulut ada air ludah. Belum lagi kalau kita bicara sel epitel kulit dan mulut. Allah juga memdesainnya sangat canggih. Bisa memproduksi anti mikroba jahat.

Belum lagi kita bicara tentara tentara tubuh di sekitarnya yang senjatanya canggih nggak cuma antibodi. Untuk menetralisir racun  tidak cukup antibodi. Antibodi hanya pembungkus dan semacam borgol saja agar racun bisa dijinakkan oleh fagosit (tentara-tentara tubuh yg berfungsi menghancurkan racun).

Yang repot jika fagosit yang bertugas memakan racun tidak berfungsi dengan baik. Pada orang yang menderita TBC memang diketahui ada disfungsi pada salah satu sel fagosit yaitu makrofag. Selain itu zat merusak spt rokok, logam berat, polutan juga bisa menyebabkan disfungsi pd makrofag kita.

Jadi intinya, probabilitas orang sakit karena toksin (racun) bakteri cukup rendah. Kecuali ada faktor pertahanan host yang rusak parah. Justru yang terbesar adalah karena faktor manusia sebagai hostnya.

Tidak semua manusia punya kerentanan yang sama terhadap penyakit. Penelitian membuktikan bahwa ada individu yang lebih rentan dan sebaliknya ada yang resisten .

MasyaAllah ... resisten secara genetik. Siapa yang lebih rentan? Tentu individu yang cacat benteng tubuhnya, punya hipersensitifitas, cacat genetik kerena mutasi, atau karena ada variasi genetik seperti polimorfisme, defisiensi vitamin A dan D yang penting untuk regulasi pertahanan dan produksi anti mikroba, defisiensi besi, keseimbangan mikrofloranya terganggu (disbiosis), dan lainnya.

Faktornya sangat individual. Tdk selalu sama faktor penyebabnya.

Kalau kita bicara siapa yang kebal? Kebal artinya resisten secara genetik, maka secara genetik toksin tidak bisa meracuni selnya. Jadi benar benar sudah dari sononya dibikin kebal sama Allah. Caranya? Wallahu a'llam ... kita pelajari pelan-pelan ya.

Jadi kita harus tahu dulu tentang bagaimana mekanisme toksin merusak sel. Seperti toksin difteri yang bisa meracuni sel bila berikatan dengan bagian-bagian dari membran sel tubuh kita yang disebut reseptor. Reseptornya spesifik diberi nama Hb-egf. Setelah berikatan maka toksin ini akan diteruskan masuk ke dalam sel melalui mekanisme yang disebut endositosis. Masuk ke dalam bangunan dalam sel yang berbentuk kantung yang disebut endosom. Prosesnya rumit.

MasyaAllah semua dalam kendali Allah.

Nah ada org yang rentan karena memiliki jumlah reseptor terlalu banyak. Yang kebal memiliki reseptor lebih sedikit atau bisa dikatakan hampir tidak punya. Sebenarnya dalam proses endositosis toksin akan didegradasi melalui proses enzimatik melibatkan protease dalam sel. Dan harus bekerja dalam PH tertentu. Pada orang menderita TBC diketahui rentan terjadi gangguan dalam regulasi PH di dalam endosom.

Untuk membuat rentan atau kebal secara genetik adalah kuasa Allah, sangat mudah bagi-Nya untuk melakukannya. Contohnya, dengan mengutak-atik reseptornya. Reseptor bisa dinaikkan dan bisa diturunkan, bahkan bisa diblok.

Menarik, yang sudah ditemukan ilmuwan adalah metode mengutak atik reseptor dengan memanfaatkan virus seperti virus small pox, virus campak dll.

Bahkan ditangan ilmuwan yang hobi utak atik gen, toksin difteri bahkan bisa digunakan untuk senjata pembunuh kanker. Seperti kanker prostat, ovarium, otak, dan lainnya.

Disbiosis, diversitas mikrobiota yang berubah. Mungkin harus dipetakan bagaimana karakteristik microbiota orang orang yang sakit parah atau yang sakit ringan dibandingkan dengan yang sehat. Diambil dari  empat domain epidemologi. Hal ini juga berarti bahwa etiologi/penyebab penyakit infeksi tidak mungkin hanya kerena faktor keganasan mikrobanya.

Back to etiologi yang multifaktor, salah satu faktor selain host yg terpenting adalah faktor lingkungan mikro.

Jadi, yg berbahaya dr c. Diphteria itu racunnya. Racunnya ini bersifat racun eksotoksin. Jadi dikeluarkan dr sel bakteri. Bekerja merusak sel mll ikatan dg reseptor. Di tingkat seluler sebenarnya tdk ada sel khusus yg menjadi target kerusakannya. Atau dlm bhs ilmiahnya,  tdk ada sifat tropisme. Kalau hiv beda. Hiv punya sifat tropisme dg sel limfosit T. Maka semua sel yg punya reseptor ya bisa rusak.

Terutama di permukaan dalam mulut yg dilapisi mukosa yg tersusun atas sel keratin (mirip dg kulit) hanya kalo dikulit ada lapisan keratin. Di dlm mukosa dlm mulut tidak.

Nah, karakteristik sel keratin ini memang unik, punya reseptor thd egf, disebut egfr, tiap2 individu berbeda2 jumlahnya.

Di mukosa
mulut ini pertahanannya bersifat berlapis. Sebelum sempat bersentuhan dg reseptor sel keratin seharusnya toksin akan menghadapi benteng yg tdk mudah ditembus, yg melapisi permukaan epitel. Lapisan ini berasal dr air ludah maupun dr apa yg diproduksi sel keratin sendiri.

Di ludah ada banyak enzim protease, defensin, epidermal growth factor (EGF). Sitokin, TnF alfa, dan lainnya, yg logikanya cukup ampuh menetralisir racun.

Selain itu keratin sendiri kalo ada alarm bahaya juga bisa mengeluarkan banyak senjata termasuk defensin

Belum lagi kalo ada alarm bahaya keratin juga bisa berkomunikasi dg mengeluarkan sinyal memanggil dan membangunkan tentara2 yg berjaga2 di sekitarnya.

Sel-sel penjaga di sana banyak ada yg prajurit rendah hingga setingkat pasukan khusus bersenjata canggih (tapi sepertinya nggak ada yg kayak densus ya 😅)

Mungkin nk cell itu bisa disebut setingkat densus, nggak perlu pengenalan, tembak ditempat.

Nah, harusnya toksin ini didegradasi oleh para tentara tubuh, terutama sekelas penjinak bom ... seperti makrofag.

Makrofag ini hanya bisa mendegradasi racun dg berat molekul yg besar, dan menempel di permukaannya. Maka untuk netralisasi toksin ini butuh molekul lain spt komplemen atau antibodi

Yang menjadi masalah bila makrofag ini mengalami disfungsi. Maka akan banyak molekul toksin yg terikat antibodi beredar kemana-mana, disebut kompleks antigen antibodi.

Kalau sudah begini biasanya tergantung kompleks antigen itu mau dibawa kemana oleh darah dan menempel di mana.

Kalau nempel di sel jantung, akhirnya sel jantung rusak. Kalau sdh rusak dan mati, kerusakan bisa tambah diperparah bila matinya sel itu mengaktifkan peradangan akut disekitarnya. Dlm hal toksin difteri yg sering terkena selain sel epitel adalah sel Jantung dan sel syaraf

Biasanya kelainan ini akan juga diperparah bila regulasi untuk mengontrol peradangan ini rusak.

Pada orang-orang yg alergi, punya autoimun, hipersensitifitas tipe lain, tgf beta, dan sel T yg berfungsi menekan radangnya rendah (sel t regulator)

Hal ini bisa memperparah dan menimbulkan komplikasi

Orang yg mengalami defisiensi vitamin A mekanisme kontrol terhadap radang biasanya juga rendah. Krn salah satu efek dari vitamin A memicu diferensiasi sel T mjd sel T regulator dan produksi tgf beta.

Demikian pula produksi antibodi sIgA juga dipengaruhi vitamin A.

Selain itu org yg mengalami defisiensi vit D. Orang yg defisiensi vit D maka produksi defensin dan kontrol terhadap peradangannya juga rendah. Mekanismenya hampir mirip dg vitamin A.

Karena vitamin D juga punya peran dlm kontrol peradangan.

Jadi dapat disimpulkan, patogenesis kerusakan sel, jaringan dan organ karena toksin difteri itu secara garis besar terjadi melalui dua mekanisme, yaitu:

1. Daya rusak toksin itu secara lokal
2. Reaksi imunologis yg cascadenya dipengaruhi  oleh banyak faktor meliputi efek radang akut dan reaksi hipersensitifitas

Yang kedua ini biasanya efeknya sistemik.

Lanjut ke gambaran morfologi.

Secara lokal, toksin mempengaruhi epitel. Jadi sel epitel  yg rusak biasanya akan berusaha bertahan dg memproduksi keratin.
Dan itu merupakan efek sekunder atau komplikasi.

Normalnya di rongga mulut kan tidak berkeratin. Keratin ini yg akhirnya menimbulkan gambaran keputihan. Maka diagnosis bandingnya banyak.

Dan gambaran ini sebenarnya tdk spesifik karena toksin difteri saja. Karena dg rangsangan lain pun reaksinya demikian.

Kalau sampai selnya mati dan sel yg mati pecah, maka akan memicu peradangan. Peradangan memicu sekresi lendir dan kematian sel lebih lanjut. Karena ada benda2 ini tubuh reaksinya berusaha melokalisir. Jadi sebenarnya radang itu bermanfaat bila terkontrol.

Dan batuk itu adalah upaya tubuh mengeluarkan dahak. Karena lapisan epitel yg bersilia di dlm nasofaring terangsang.

Yg repot ya itu tadi, ada org yg regulasi peradangannya rusak. Apalagi ada disfungsi makrofag.

Kalau seperti ini racun bisa kemana2, memicu reaksi hipersensitifitas. Nyangkut di  limfonodi, jantung, syaraf ...jadinya meradang. Bisa juga terjadi anemia hemolitik.

Gambaran morfologinya bermacam2, ada leukoplakia, sebukan sel radang, area nekrosis luas. Tapi ini tdk khas untuk difteri.

Maka diagnosis pasti bukan dg pemeriksaan PA. Tapi dg kultur dan karakterisasi kumannya dg teknologi Rt PCR dan juga ditemukan produksi toksinnya.

Dari sini sebenarnya sdh bisa diketahui manifestasi kliniknya.

Tulisan yg beredar sudah cukup ya. Tapi yg perlu saya garis bawahi adalah manifestasi klinik ini derajatnya berbeda2. Yg ringan ya terbatas lesi lokal saja. Yang parah, ya yg sampai ke mana2 tadi. Bahkan ada yg sehat2 saja walau terpapar.

Secara Ilmiah, maka out comenya terbagi menjadi beberapa tingkatan.

1. Yang sehat disebut sub klinis/asimptomatik. 2. Yang ringan paling demam dan batuk ringan. 3. Yang parah tergantung faktor pemberat dan peringan serta penanganan.

Prognosisnya, kalau yg asimptomatik artinya sembuh sempurna. Kalau yg ringan, ya sembuh sempurna. Nah, yg berat ya tergantung faktor-faktor tadi. Saya blm cek berapa persennya menurut data epidemiologi ya.

Wallahu a'lam bish-shawwab.

Bila ada kebenaran dari yg saya sampaikan itu semata-mata dari Allah. Segala kesalahan itu datangnya dari hamba yg lemah akalnya yg hanya bisa meraba-raba di antara luasnya Ilmu Allah SWT.

Kamis, 07 Desember 2017

Manusia Adalah Sebaik-baik Penciptaan

Butuh waktu 3th utk "hafal" gaya argumen seorang pentolan provax. Dan saya sudah hafal gaya argumen dokter itu. Seperti tulisan2 dia yg lain, tipikalnya dia itu bawa dalil shahih, tp ga ada korelasinya ama vaksin. Kali ini dia mengkritik argumen AV bhw manusia adalah sebaik2 penciptaan sesuai dg yg tertuang dalam Al Qur'an. Ketika AV mengacu pd dalil ini, menurut PV, AV "mencukupkan" diri dg keyakinan bhw sistem tubuh manusia sdh sempurna dalam menjaga diri dari penyakit sehingga tak butuh vaksin. Kesimpulan seperti ini saya katakan sebagai kesimpulan tergesa2 dan emosional, utk menggiring opini bhw AV adalah sekumpulan manusia yg sok tau ttg agama dan lebay. Padahal bukan demikian inti dari argumen kami. Tapi ya mau bagaimana lagi? Yg namanya haters akan memilih utk menyalahpahami APAPUN argumen yg kita berikan.

Di mana letak kesalahpahaman PV? Letaknya ada pada cara pandang terhadap KESEMPURNAAN manusia. Kami komunitas thinker parents memang suka sekali berpikir dan merenung utk mencari hikmah apa di balik kesempurnaan penciptaan manusia. Kenapa Allah menyatakan manusia adalah sebaik2 penciptaan?

DIskusi demi diskusi kami jalani di grup kami, didampingi para ahli yg kompeten di bidangnya (sementara bagi PV, seseorg sekaliber profesor pun ga dianggap kompeten klo dia tak mendukung vaksin). Diskusi ttg kehamilan, mengapa wanita kondisinya "dilemahkan" ketika hamil, persalinan, mengapa jalur "normal" persalinan adalah via vagina, bayi baru lahir mengapa ditahnik, ada apa di dlm air ludah, mengapa bayi terlahir lemah, mengapa bayi memiliki HAK disusui selama 2th, ada apa di dalam ASI, apa manfaat madu, habbatussauda, minyak zaitun, dan pentingnya makanan yg halal thoyyib? Tentang kulit manusia, tentang sistem-sistem yang ada pada tubuh manusia, tentang sistem pertahanan tubuh. Semuanya pada akhirnya bermuara pada kesimpulan yg menunjukkan bhw Allah menciptakan kesempurnaan itu dalam bentuk tahapan-tahapan yg -kalo dalam kacamata saya sebagai manusia yg masih fakir ilmu- tahapan tersebut begitu runtut dan indah. Semua saling berkaitan satu sama lain menciptakan keharmonisan sistem yg SEMPURNA. Itulah yang coba kami renungi dan tadabburi. Untuk kemudian menjadikan hati kami makin tunduk pada kebesaran Allah.

Manusia yg sempurna ini pun dianugerahi akal oleh Allah. Akal harus didayagunakan utk kemaslahatan. Tapi apakah pemanfaatan akal ini bebas tak berbatas? Tidak. Kita tetap harus tunduk pada rambu2 yg Allah tetapkan. Dalam hal apa saja? Dalam hal APA pun. Termasuk dalam hal mencegah penyakit. Menjaga kesehatan. Menjadi muslim yg kuat dan tangguh. Tidakkah Allah melalui RasulNya sudah mengajarkan itu?

Renungkan..

Selasa, 05 Desember 2017

BUANG GENGSI, JANGAN MUBADZIR

Jadi critanya tadi mamake andhok maem nasi ayam sendirian abis cari selang regulator elpiji yang bolong n patah krn kebakaran.
Nah ayamnya nih ya lumayan gede. Padahal mamake udah nambah nasi separuh buat ngabisin ayam eh tetep aja masih bersisa setengah potong.
Maka mamake ngomong ke si mbak penjual nasi bebek (iya, ini aslinya warung nasi bebek hehehe...)
"Mbak, ayamnya ini boleh tolong dibungkusin? Mau saya bawa pulang buat dimakan nanti. Sekalian beli bumbunya ama sambelnya ya?"
"Boleeeh..."
"Eman mbak kalo ga dibawa. Masih segede itu mosok mau dibuang?" kata saya.
"Nah iya tu mbak. Saya juga heran orang2 koq bisa makanan disisain banyak gitu. Kan eman ya.." si mbak menimpali komentar saya.
"Ya kali malu mbak mau bawa pulang", jawab saya sambil nyengir lebar. "Kalo saya mah ga pake malu. Daripada mubadzir. Itu rejeki dari Allah mosok mau disisain trus dibuang?" kata saya lagi.
"Saya kadang suka mikir mbak, ni orang2 makannya kenapa ga abis, apa masakan saya ga enak ya?" tanya si mbak.
"Nah iyaaa. Jadi kepikiran gitu kan. Sama mbaak. Saya juga kalo di rumah suka marah klo anak2 makan ga abis. Ga kasian ama yang masak apa?" sahut saya sambil ketawa.
"Saya seneng loh kalo pembeli makannya itu abis." ujar si mbak sambil menyelesaikan membungkus sisa ayam yang saya makan.
"Berarti rasanya cocok ya mbak?" tanya saya.
Si mbak tertawa.
"Saya mikirnya, kemungkinannya kalo nggak pembelinya laper ato rasanya emang cocok" jawabnya santai.

Etdah mbak, itu mah sayaaa yang kelaperan tadi...kan tadi nambah nasinya hahahaha :D

Moral of the story:
Jangan buang buang makanan. Kalo pesen makanan itu habiskan. Kalo perlu dikirakira sama kapasitas perut, cukup apa nggak. Jangan mubadzir yaa. Kalo ga abis mending minta dibungkusin aja.

Saya mah gitu wkwkwkwk :v

#genk_emak_sapu_bersih
#jangan_mubadzir

Rabu, 29 November 2017

Vaccine FAQs

Aluminum Information from The Vaccine Book

The Vaccine Book by Dr. Robert W. Sears
Aluminum is added to a number of vaccines to help them work better. Normally one wouldn’t consider aluminum to be a problem. It’s present everywhere in our environment. It’s in food, water, air, and soil. It’s also a main ingredient in over-the-counter antacids. Aluminum is harmless when swallowed since it isn’t absorbed into the body.
I didn’t think much about aluminum when I first started researching vaccines 13 years ago. In fact, my early seminars on vaccine education included a brief statement that aluminum was nothing to worry about. So why am I writing about it here? As I read each product insert and looked at the micrograms of aluminum in several of the vaccines, I wondered, “Has anyone determined what a safe level of injected aluminum is?” I didn’t have to wonder for long, because I found the answer quite easily. You can find it as well; just go to www.fda.gov and search “aluminum toxicity.” You’ll see several documents about aluminum.

Related Articles

The first document (see Resource 1) I came across discusses labeling of aluminum content in injected dextrose solutions (a sugar solution added to IVs in the hospital). On page 2, section 3.a., you will read the following: “Aluminum may reach toxic levels with prolonged parenteral administration [this means injected into the body] if kidney function is impaired . . . Research indicates that patients with impaired kidney function, including premature neonates [babies], who received parenteral levels of aluminum at greater than 4 to 5 micrograms per kilogram of body weight per day, accumulate aluminum at levels associated with central nervous system and bone toxicity [for a tiny newborn, this toxic dose would be 10 to 20 micrograms, and for an adult it would be about 350 micrograms]. Tissue loading may occur at even lower rates of administration.” Wow, that was a mouthful. I had to read it three times to understand it, so feel free to do the same.
The second document (see Resource 2) discusses aluminum content in IV feeding solutions (called TPN). The FDA requires these solutions to have no more than 25 micrograms of aluminum in each liter of solution. A typical adult in the hospital would get around 1 liter of TPN solution each day, thus about 25 micrograms of aluminum. The document also states on page 2, “Aluminum content in parenteral drug products could result in a toxic accumulation of aluminum in individuals receiving TPN therapy. Research indicates that neonates [newborns] and patient populations with impaired kidney function may be at high risk of exposure to unsafe amounts of aluminum. Studies show that aluminum may accumulate in the bone, urine, and plasma of infants receiving TPN. Many drug products used in parenteral therapy [injections] may contain levels of aluminum sufficiently high to cause clinical manifestations [symptoms] . . . parenteral aluminum bypasses the protective mechanism of the GI tract and aluminum circulates and is deposited in human tissues. Aluminum toxicity is difficult to identify in infants because few reliable techniques are available to evaluate bone metabolism in . . . infants . . . Although aluminum toxicity is not commonly detected clinically, it can be serious in selected patient populations, such as neonates [newborns], and may be more common than is recognized.”
OK, that was another mouthful . . . or a syringe full if you prefer. So what does all this mean? Here’s your translation. According to the first document, if premature babies get more than 10 micrograms of aluminum per day in their IV solution, this aluminum may accumulate in their bones and their brain in toxic levels. According to the second document, aluminum toxicity isn’t rare in newborns and other patients receiving injectable medications and IV solutions containing aluminum. They also warn that toxicity is difficult to detect just by observing symptoms.
There is another paper I found from A.S.P.E.N. (the American Society for Parenteral and Enteral Nutrition, not the ski resort), a group that monitors for safety and side effects of oral and injectible nutritional products. Their statement on aluminum safety, published in Nutrition in Clinical Practice in 2004 (See Resource 3), states that aluminum accumulation in body tissues can occur in newborns receiving IV solutions containing aluminum for prolonged periods. They state that the significance of this is not known. They also reiterate the FDA’s recommendations that IV nutritional solutions contain no more than 25 micrograms of aluminum per liter. Other injectible products aren’t required to limit aluminum, but they are required to have a warning label that says, “This product contains aluminum that may be toxic . . . .” The label goes on to specify the worries about aluminum in patients with kidney problems and premature babies and the limit of 5 micrograms per kilogram of body weight per day. A.S.P.E.N. recommends that doctors “may want to purchase equivalent products with the lowest aluminum content when possible and should monitor changes in the pharmaceutical market that may affect aluminum concentrations.”
Where does the 4 to 5 mcg per kilogram per day safety limit come from? I found a very interesting study from the New England Journal of Medicine 1997 (See Resource 4) that compared the neurologic development of about 100 premature babies who were fed a standard intravenous feeding solution that contained aluminum with 100 premature babies who were feed the same solution, but with almost all the aluminum purposefully filtered out. What prompted this study (as discussed in the study’s introduction) was the knowledge that aluminum can build up to toxic levels in the bloodstream, bones, and brain when injected, that preemies have decreased kidney function and have a higher risk of toxicity, that one preemie with sudden, unexplained death had high aluminum concentrations in the brain on autopsy, and that toxicity can cause progressive dementia. So these researchers sought to prove that aluminum may be harmful to preemie babies. They turned out to be right. The infants who were given IV solutions with aluminum showed impaired neurologic and mental development at 18 months, compared to the babies who were fed much lower amounts of aluminum. Those who got aluminum received an average of about 500 mcg of aluminum spread out over an average of 10 days. This comes out to about 50 micrograms per day. The babies who got the solution with aluminum filtered out received about 10 mcg daily, or 4 to 5 mcg per kilogram of body weight per day. This seems to be where this safety level originated from.
Now, none of these documents or studies mention vaccines. They only look at IV solutions and injectible medications. I’m not sure why that is. Nor is it clear why the FDA does not require aluminum warning labels on vaccines when they do require it on all other injectible medications. Vaccines apparently have some sort of exemption.
All these warnings seem to apply mainly to premature babies and kidney patients. What about larger, full-term babies with healthy kidneys? Using the 5 mcg/kg/day criterion from the first document as a minimum amount we know a healthy baby could handle, a 12-pound 2-month-old baby could safely get at least 30 micrograms of aluminum in one day. A 22 pound one-year-old could get at least 50 micrograms safely. Babies with healthy kidneys could probably handle a lot more than this, but we at least know they could handle this amount. However, these documents don’t tell us what the maximum safe dose would be for a health baby or child. And I can’t find such information anywhere. This is probably why the A.S.P.E.N. group suggests, and the FDA requires, that all injectable solutions have the 25 mcg limit, since we at least know that is safe.
But wait. You are probably thumbing back through the book right now to see exactly how much aluminum was in each vaccine. Put your thumb away. At the risk of being repetitive I’ll just list it right here again:
  • Hib (PedVaxHib brand only) – 225 micrograms per shot.
  • Hepatitis B – 250 micrograms.
  • DTaP – depending on the manufacturer, ranges from 170 to 625 micrograms.
  • Pneumococcus – 125 micrograms.
  • Hepatitis A – 250 micrograms.
  • HPV – 225 micrograms.
  • Pentacel (DTaP, HIB and Polio combo vaccine) – 330 micrograms.
  • Pediarix (DTaP, Hep B and Polio combo vaccine) – 850 micrograms.
OK, I’ll do the math for you. A newborn who gets a Hepatitis B injection on day one of life would get 250 micrograms of aluminum. This would be repeated at one month of age with the next Hep B shot. When a baby gets the first big round of shots at 2 months, the total dose of aluminum can vary from 295 micrograms (if a non-aluminum HIB and the lowest aluminum brand of DTaP is used) to a whopping 1225 micrograms if the highest aluminum brands are used and Hep B vaccine is also given. These doses are repeated at 4 and 6 months. A child would continue to get some aluminum throughout the first 2 years with most rounds of shots.
Just to remind you, the FDA feels that premature babies and any patient with impaired kidney function shouldn’t get more than 10 to 25 micrograms of injected aluminum at any one time.
As a medical doctor, my first instinct is to worry that these aluminum levels far exceed what may be safe for young babies. But then my second instinct is to assume that this issue has been researched and that studies have been done on healthy infants to determine their ability to excrete aluminum rapidly. My third instinct is to go looking for these studies, and so far I have not been able to find any. It is likely that the FDA feels the kidneys of healthy infants work well enough to excrete this aluminum rapidly before it can circulate through the body, accumulate in the brain, and cause toxic effects. However, I can’t find any references in the FDA documents that show that using aluminum in vaccines has been tested in human infants and found to be safe.
So I did what any pediatrician would do. I turned to the American Academy of Pediatrics. They published a policy in 1996 called Aluminum Toxicity in Infants and Children (See Resource 5). Here are several keys items I found in this paper:
  • Aluminum can cause neurologic harm.
  • A study from 30 years ago showed that human adults will increase their urine excretion of aluminum when exposed to higher levels (suggesting adults can clear out excess aluminum).
  • Adults taking aluminum-containing antacids don’t build up high levels in their body.
  • There have been reports of infants with healthy kidneys showing elevated blood levels of aluminum from taking antacids.
  • The AAP found that people with kidney disease who build up levels of aluminum greater than 100 micrograms per liter in their bloodstream are at risk of toxicity.
  • The AAP also states that the toxic threshold may be lower than this.
  • The paper states that aluminum loading (meaning tissue build up) has been seen even in patients with healthy kidneys who receive IV solutions containing aluminum over extended periods.
Completely absent from this paper was any mention whatsoever of aluminum in vaccines.
To put this in perspective, an average adult has about 5 liters of blood. So having more than 500 micrograms in the bloodstream all at once would be toxic if their kidneys weren’t working well. Toxicity has also been seen in patients with healthy kidneys. A newborn has a blood volume of about 1/3 liter, or 300 mL. So having more than 30 micrograms floating around in their bloodstream at once could be toxic if the baby’s kidneys weren’t working well. A child has about 1 liter of blood, so more than 100 micrograms in his system could be toxic. I’ve already stated that babies can get more than 1000 micrograms injected at one time. Fortunately, this amount doesn’t all go into the bloodstream at once. It would be slowly diffused into the bloodstream over a period of time from the muscle or skin where it is injected.
But that is the main point of this entire section. No one has ever measured the levels of aluminum absorption into the bloodstream, then excretion into the urine and out of the body, when it is injected into the skin and muscle of human infants. All the FDA and AAP documents say is it may be a problem, but we haven’t studied it yet, so we should limit aluminum in injectible solutions. But no one is talking about the levels in vaccines.
What I think may have happened is that aluminum used to be in only one vaccine (DTP), so no one thought much about it. Then along came PedVaxHib brand of HIB vaccine in the 80s with aluminum, but the other brands of HIB did not have aluminum, so no one thought much about it. Then we started using Hep B vaccine in the 90s, Pc vaccine in the 2000s, and recently Hep A vaccine. Giving one aluminum vaccine at a time doesn’t amount to much aluminum, but giving four all together really adds up. It seems this issue has simply escaped everyone’s attention. Or has it?
Some researchers from the Cochrane Collaboration (a group that looks at healthcare issues around the world) investigated aluminum in vaccines and published their findings in The Lancet Infectious Diseases in 2004 (see Resource 6). This group reviewed all the side effect testing for one particular aluminum-containing vaccine (DTP) and looked for any evidence that an aluminum-containing vaccine caused more side effects than non-aluminum vaccines. Other than more redness, swelling and pain at the injection site, they didn’t find any indications that an aluminum-containing vaccine caused any problems. What prompted their investigation? According to the Lancet journal, there have been suspected cases of aluminum causing various neurologic and degenerative problems. The Cochrane Collaboration wanted to look at a very large study group to see if there was a real correlation. They didn’t find any problems with aluminum in vaccines and concluded that no further research should be undertaken on this topic. That’s a pretty bold statement. Most researchers will make a conclusion on research findings, but it’s unusual to go so far as to say that no one else should do any more research into the matter.
This is especially surprising because the Cochrane group didn’t actually study aluminum metabolism itself. They didn’t test aluminum levels in kids after vaccination. They didn’t explore whether or not the amount of aluminum in vaccines builds up in the brain or bone tissues. They just looked for evidence of visible symptoms of toxicity without even looking for internal aluminum effects. And they didn’t even do their own research. They simply reviewed all available studies done by other people. Also, they only looked at one aluminum-containing vaccine instead of testing all four at once. The Cochrane group essentially closed the book on aluminum without ever really opening it.
In 2002 a group of doctors and researchers met for a workshop conference to discuss aluminum in vaccines (see Resource 7). You can read the conclusions of this conference online, but in a nutshell they describe the importance and usefulness of using aluminum in vaccines, and the lack of evidence that the amounts used causes any harm, but they acknowledge that more research needs to be done to verify the pharmacokinetics and toxicology of aluminum in human children.
In addition, the Global Advisory Committee on Vaccine Safety for the World Health Organization just met in 2008 and determined there is no evidence of a health risk from aluminum-containing vaccines or any justification for changing current vaccination practices. I just wish they could have included at least one study on live human infant aluminum pharmacokinetics to prove this for sure. “No evidence of a health risk” is not as good as saying “Aluminum has been proven to be safe.”
The most obvious way to study this matter would be to inject various amounts of aluminum into kids and see what happens to it internally. We know from the FDA documents that aluminum toxicity does occur from other types of injectible treatments in those with impaired kidneys, that it can accumulate in the brain and bones in toxic amounts, that this may occur more commonly than is recognized, and that aluminum toxicity is hard to detect just by observing for symptoms. So what happens when the amount of aluminum in vaccines is injected? I’m not sure it would be ethical to inject human infants with aluminum for no good reason, but perhaps we could study it with vaccines that are already being given anyway?
I think vaccine manufacturers may have started wondering the same thing, because I found some interesting research in the product insert of the brand new HPV vaccine. The Merck Company actually added a little extra step to their safety research. They injected aluminum into a separate group of test subjects to use as a safety control group. They studied some of the side effects of their new vaccine compared to a saline placebo as well as the aluminum placebo. They found that the placebo with aluminum was a lot more painful than the saline placebo, and just about as painful as the full HPV shot. The aluminum placebo also caused a lot more redness, swelling, and itching than the saline placebo, but not quite as much as the full HPV shot. Unfortunately, they only looked at aluminum effects right at the injection site. They didn’t state in the product insert what role the aluminum placebo played in all the other standard side effects like fever and flu-like symptoms, although they probably have this data somewhere. And they didn’t study internal aluminum metabolism. But this research did show how reactive aluminum can be when injected into the muscles, and it was a good first step. I’m hoping that someone who is research minded and curious about this issue will explore it in complete detail so I can put it behind me, and you can feel more confident about vaccine safety. I will post any new developments about aluminum on www.TheVaccineBook.com to keep you updated.
Since aluminum may be toxic, why not just take it out of the vaccines as was done with mercury? The problem is, aluminum is an adjuvant. This means that it helps the vaccines work better. By mixing aluminum with the vaccine components, the body’s immune system recognizes the vaccines better. So to take it out would decrease the vaccine’s effectiveness. The Cochrane group also pointed out that taking aluminum out of vaccines would be a huge undertaking, requiring extensive trials on re-formulated vaccines. Mercury was easy to take out, since it had nothing to do with helping the vaccine work. But the pharmaceutical companies would need to have some good evidence that aluminum is harmful before it would be able to invest in reformulating vaccines without aluminum.
What exactly does aluminum do in the brain when it builds up in toxic amounts? While no one has studied healthy babies to see how much, if any, aluminum builds up in the brain from the amount used in vaccines, the study on IV feeding solutions in premature babies I discussed previously found that aluminum impaired their neurologic and mental development (see Resource 4). But that was in premature babies, not full-term healthy ones. I found several animal studies involving aluminum and/or aluminum-containing vaccines that did show neurologic harm (see Resources 8 – 12). Not only did the aluminum build up in the brain and cause damage, some of this damage looked similar to what is seen in the brains of Alzheimer’s patients. But it’s hard to correlate these findings precisely into human terms. What we need are more human infant studies.
Parents who wish to be extra cautious and limit their baby’s exposure to aluminum can do the following:
  • Ask your doctor to order the brand of HIB vaccine that does not contain aluminum.
  • Ask your doctor to avoid the brand of DTaP with the most amount of aluminum. However, you should be aware that the DTaP with the lowest aluminum also has a trace of mercury and uses cow tissue in manufacturing. The brand of DTaP with a moderate amount of aluminum does not contain mercury and does not use cow tissues.
  • As for Hep B, Pc, Hep A, and HPV, all available brands have the same amount of aluminum. Parents can limit the number of aluminum-containing vaccines given at any one time, but this would mean coming in for extra “shot only” visits in between check ups. In Chapter 19, What Should You Now Do?, I will detail a vaccine schedule that allows you to get every vaccine in a timely manner, while only getting one aluminum-containing vaccine at a time.
  • Avoid any combo vaccines that have more aluminum than the individual shots do.
If I could sum up the aluminum controversy in three sentences, it would be this. There is good evidence that large amounts of aluminum are harmful to humans. There is no solid evidence that the amount of aluminum in vaccines is harmful to infants and children. No one has actually studied vaccine amounts of aluminum in healthy human infants to make sure it is safe. Should we now stop and research this matter? Or should we just go on and continue to hope that it is safe?
I’m sure as soon as this book is published, vaccine policy makers and advocates will get word of it and read my concerns over aluminum. This will probably initiate several research studies to explore the risks of aluminum. I would ask a favor of those of you who undertake such research. Please don’t simply conduct a retrospective review of all the old vaccine safety studies and journal articles to look for aluminum side effects. Because you won’t find any. Aluminum toxicity, as the FDA, AAP, and others have stated, can’t be noticed just by external observation. It would really be a shame to have several such reports show up in the medical literature just to try to put a lid on this issue. The only way the aluminum safety issue can be put to rest is for someone to conduct several real-time studies on thousands of human infants and measure aluminum levels after vaccination. And they should not just look at blood levels. They should find out where aluminum accumulates in the body, if at all, and how it is eliminated from the body and at what rate. Once I see such research, and it is determined to my satisfaction that aluminum has been proven safe, then I will post an update on www.TheVaccineBook.com and change this section in the next revision of this book. If we find that aluminum may not be safe, then I would expect a new vaccine schedule to be adopted that spaces out the aluminum vaccines. I would also expect vaccine manufacturers to begin finding ways to reduce or remove aluminum from vaccines without compromising their effectiveness. One brand of HIB vaccine requires aluminum to make it work, but another brand doesn’t. Why is that? One brand of DTaP has 4 times as much aluminum as another brand. Why?
As doctors, we can choose certain vaccine brands that have less or no aluminum. We can be careful about giving only one aluminum-containing vaccine at a time. And we can talk about it instead of brushing the issue under the carpet. I pray to God that my fears on aluminum are unfounded, and that several unbiased, objective studies done by completely independent groups who have no ties to vaccine manufacturers or political organizations show that aluminum is safe. If not, I would hope that vaccine manufacturers would start to reduce aluminum and look for new adjuvants as soon as possible. I know this won’t be an easy task, but our children are worth it.

References

  1. Department of Health and Human Services, Food and Drug Administration, Document NDA 19-626/S-019, Federal Food, Drug and Cosmetic Act for Dextrose Injections. Available online at https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/appletter/2004/19626scs019ltr.pdf
  2. Department of Health and Human Services, Food and Drug Administration, Document 02N-0496, Aluminum in Large and Small Volume Parenterals Used in Total Parenteral Nutrition. Available online at http://www.fda.gov/ohrms/dockets/98fr/oc0367.pdf
  3. A.S.P.E.N. Statement on Aluminum in Parenteral Nutrition Solutions, Charney P, Aluminum Task Force, Nutrition in Clinical Practice 19;416-17, August 2004.
  4. Aluminum neurotoxicity in preterm infants receiving intravenous-feeding solutions. Bishop NJ, Morley R, Day JP, Lucas A.,N Engl J Med. 1997 May 29;336(22):1557-61.
  5. Aluminum Toxicity in Infants and Children, Committee on Nutrition, American Academy of Pediatrics, Pediatrics Volume 97, Number 3 March, 1996, pp. 413-416.
  6. Adverse events after immunization with aluminum-containing DTP vaccines: systematic review of the evidence,Jefferson T, et al; The Lancet Infectious Diseases 2004; 4:84-90
  7. Workshop summary: aluminum in vaccines, Eickhoff TC, Myers M., Vaccine 2002:20 (suppl):S1-S4.
  8. Effects of aluminum on the neurotoxicty of primary cultured neurons and on the aggregation of beta-amyloid protein, Kawahara M et al., Brain Res. Bull. 2001; 55, 211-217.
  9. Aluminum-adjuvanted vaccines transiently increase aluminum levels in murine brain tissue, Redhead K, Quinlan GJ, Das RG, Gutteridge JM. Pharmacol.Toxico. 1992; 70;278-280.
  10. Aluminum impairs the glutamate-nitric oxide-cGMP pathway in cultured neurons and in rat brain in vivo: molecular mechanisms and implications for neuropathology, Canales JJ et al, Journal of Inorganic Biochemistry, 2001; Nov;87(1-2):63-69.
  11. Effects of aluminum exposure on brain glutamate and GABA systems: an experimental study in rats, Nayak P, Chatterjee, AK, Food Chem Toxicology, 2001, Dec:39(12):1285-9.
  12. Neuropathology of aluminum toxicity in rats (glutamate and GABA impairment), El-Rhaman SS. Pharmacol. Res. 2003 March:47(3):189-94.
What type of Vitamins A and C can I give my baby and where do I get them?
For Vitamin A, any infant multivitamin drops will do. As for Vitamin C, there isn’t enough in a multivitamin – you’ll have to buy a separate liquid or chewable or powder. You can find them online or at a vitamin store.
See our article on boosting your child’s immune system for more details on giving Vitamin A and C and other ways to boost your child’s immune system.
Source: https://www.askdrsears.com/topics/health-concerns/vaccines/more-vaccine-articles/vaccine-faqs?doing_wp_cron=1480325515.1385910511016845703125