Minggu, 05 November 2017

PRIORITAS AKHLAQ DALAM MEMBANGUN GENERASI

Beberapa waktu terakhir ini sedang viral video pemukulan oknum guru terhadap seorang murid. Pemicunya adalah si murid memanggil guru tersebut tanpa diawali "pak". Langsung menyebut nama sang guru. Hal ini memancing emosi guru tersebut dan akhirnya melakukan tindak kekerasan.

Tanpa bermaksud membenarkan tindakan oknum guru, ijinkan saya menyampaikan pendapat pribadi saya untuk kemudian mengaitkannya dengan pentingnya pembentukan karakter.

Berdasarkan informasi yang ada, kejadian pemukulan thd murid itu diawali oleh sikap murid yang tidak sopan terhadap guru. Masalah adab. Entah sejak kapan, sepertinya generasi muda kita mengalami apa yang bisa kita kategorikan sebagai krisis akhlaq. Terutama dalam hal adab dan tata krama. Dan siapa pembentuk paling dominan?
Lingkungan.
Bisa lingkungan sekitar rumah, bisa juga lingkungan di sekolah. Dan tentunya lingkungan pergaulan juga termasuk faktor signifikan pembentuk karakter. Anak-anak kehilangan panutan dalam hal adab. Figur senior maupun publik sudah tak mampu memberikan teladan yang baik bagi anak2. Diperparah lagi dg tayangan di media yang dengan mudahnya menayangkan kekerasan tanpa sensor. Lalu ditambah pula muncul tokoh yang disebutkan sebagai sosok anak muda kekinian yang keren, yang cool, dengan tato dan gayanya yang slengean. Otak anak kita seperti distimulus hal negatif secara berulang yang ujungnya akan tertancap kuat di memori anak. Akibatnya perilaku kasar dianggap sebagai hal yang biasa. Bersikap menantang dan membangkang itu keren. Tak ada rasa miris memandang perilaku yang kasar dan jauh dari adab.

Efeknya, anak tidak mampu membedakan mana yang salah mana yang benar. Mana yang halal mana yang haram. Padahal salah satu tujuan diturunkannya ajaran agama adalah utk dapatnya membedakan mana yang salah dan yang benar, yang halal dan yang haram.

Sebagai contoh, pernah ada kejadian yang serupa dengan kejadian pemukulan murid di atas, di sekolah anak bungsu saya. Penyebabnya adalah guru marah terhadap anak yang mengerjakan pe er mata pelajaran lain di saat guru tersebut sedang mengajar. Awalnya buku anak tersebut disita. Rupanya si anak tidak terima dan memprotes pada guru. Entah apa yang diucapkan si anak, guru itu kemudian menampar anak tadi. Kejadian penamparan ini sendiri sudah ditangani pihak sekolah dan diselesaikan secara kekeluargaan. Saya tidak menganggap benar penamparan itu tapi saya bisa paham kenapa gurunya marah. Poin utamanya adalah anak tak paham adab saat menuntut ilmu dan adab terhadap guru. Hal ini tidak dipahami si murid sehingga dia tidak merasa apa yang dia lakukan adalah salah.
Anak saya yang bungsu pernah melakukan kesalahan yang sama setaun sebelumnya. Mengerjakan pe er matematika saat sedang pelajaran ipa. Gurunya marah dan menyita buku. Lalu meminta bukunya diambil orang tua. Saat anak saya cerita, dia membela diri menganggap yang dia lakukan tidak salah, krn bukan melakukan kenakalan. Saya bilang ke dia, "kamu itu salah".
"Tapi kan aku ga ngapa2in bu. Cuma ngerjain pe er"
"Loh, kamu itu SALAH. SA-LAH!"
Saya sampai menekankan kata salah itu beberapa kali untuk membuatnya paham bahwa tindakannya itu tidak tepat. Memang dia kadang suka mengerjakan pe er yang diberikan gurunya langsung di sekolah sebelum pulang. Supaya di rumah ga banyak2 ngerjainnya, katanya. Tapi tetep saya tegur keras dia atas tindakannya itu. Dan ternyata kejadian yang sama dilakukannya oleh siswa lain. Sayangnya, siswa tersebut ngeyel sehingga memancing emosi sang guru.

Dua-duanya tetep salah jadinya.
Baik si murid maupun gurunya.

Dari sini saya menarik garis merah akar permasalahan saat ini. Yaitu krisis adab dan akhlaq. Karakter anak kita minus adabnya. Dan sayangnya sebagian pendidik tidak berupaya mengatasi masalah ini dengan optimal. Bahkan cenderung apatis. Entah mungkin karena sudah terlalu lelah mengejar target pemenuhan kurikulum. Itu yang bisa saya tangkap saat saya menjelaskan program yang dirancang komite sekolah si sulung untuk pembentukan karakter anak via channel telegram maupun ketika membahas piket kelas dan toilet.
"Anak-anak susah bu kalau disuruh. Sudah dibikinin jadwal tapi ga jalan. Yang piket kelas aja kan mestinya datang awal ke sekolah. Tapi banyakan mereka datangnya pas bel. Yang tertib piket paling satu dua aja," i yang dikatakan oleh salah satu guru di sana.
Nah inilah pe er kita bersama. Menemukan formulasi yang tepat utk menanamkan karakter anak yang beradab. Program via telegram itu hanya setitik kecil cara mengupayakannya. Kita masih perlu cara lain utk memaksimalkan pendidikan karakter bagi anak kita.

Seorang ulama besar di masa lalu, Ibnu Mubarok rahimahulloh berkata:
"Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”
Lihat perbandingan lamanya belajar adab dengan belajar ilmu. Porsi belajar adab lebih besar. Karena ulama tidak pernah menganggap remeh masalah akhlaq dan adab ini. Sementara di kita? Materi akhlaq dianggap sepele dan kecil porsinya dibanding materi ilmu. Hasilnya ya bisa kita lihat seperti apa generasinya skrg dibanding generasi ulama di masa lalu.

Tapi tak perlu berkecil hati. Belum terlambat. Semua masih bisa diubah. Tentunya ini bukan perubahan yang mudah. Butuh dukungan dari semua pihak. Jangan mengharapkan hasilnya bisa instan, karena membuat mie instan pun tetap membutuhkan proses.

Wassalam

Eky C.P

*menulis sejatinya adalah menasihati diri sendiri*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar