Senin, 29 Juni 2015

THE REAL TEACHER

Si bungsu ini terhitung terlalu muda saat mulai masuk sekolah. Masuk TK usia 3th 4bln dan masuk SD usia 5th 4bln. Saya sempat kuatir dg kedewasaannya dibanding teman2nya apalagi di usianya skrg 10th naik kelas 6 sementara teman2nya sdh usia 12th yg tentunya lebih dewasa. Dan kekuatiran saya memang terjadi. Dia lebih "kekanakan" dibanding teman sekelasnya.
Berhubung itu sudah terlanjur tentunya saya tak bisa menarik kembali dia ke kelas di bawahnya. Jadi ya sudah jalan saja. Saya rasa ga masalah dia bergaul dg anak2 yg lebih tua. Krn pergaulan itu tak dibatasi umur kan? Malah di satu sisi saya bersyukur di saat teman2nya sdh lebih "dewasa", si bungsu bertahan dg "kekanakan"nya.
Nah yg jadi masalah adalah pemahamannya thd beban pelajaran yg bisa kita anggap "berat" utk ditanggung anak seusia dia. Apalagi dg kurikulum skrg yg makin padat. Maka saya sendiri ga terlalu PUSH ke dia soal pelajaran. Pemaklumannya terhadap dia saya besarkan. Saya "lepas" dia utk berkembang sendiri. Surprisingly, dia ternyata mampu dalam pelajarannya. Nilai2nya termasuk melampaui KKM walau dia tak menempati peringkat atas di kelas tp setidaknya bukan di tengah2 ataupun bawah. Saya yg sering jadi malu pada diri saya sudah under estimate sama anak sendiri hehe...
Ketiga anak saya alhamdulillah mewarisi hobi saya yaitu membaca. Tp si bungsu ini yg paling besar minat membacanya. Dan satu hal yg jadi kelebihannya adalah sifat keponya. Kritis bertanya ke saya yg kadangkala pertanyaan itu tak terpikir akan keluar dr dia. Lagi2 saya terlalu skeptis dan under estimate sama dia. Ini kesalahan saya. He never failed to surprise me with his conversation with me. Kadang kalo lagi ngecipris sama saya, saya suka heran krn ujung2nya materi yg saya omongkan itu termasuk berat buat anak2. Tapi tetep saya sampaikan. Krn buat saya, momen dia bertanya itu ga akan bisa berulang. Kalopun berat, pasti ada sedikit2 yg nyantol lah di pikiran dia dan suatu saat bisa diulang lagi materinya.
Seperti ketika saya ajak dia ke taklim ba'da subuh di masjid kotwis bbrp hari yg lalu. Saya dan kak eL di barisan perempuan, sementara dia sendiri di barisan laki2 (si sulung n bapaknya di masjid deket rumah aja). Sepulang dari sana saya tanya bagian mana yg dia dengar dari taklim tadi. Kebetulan yg kasih tausiah adl ust. Oemar Mita. Dia jawab, ttg Abu Dawud yg membeli surga seharga satu dinar. Saya pikir, ooh itu yg nancep di dia. Sementara yg nancep di saya adalah soal keyakinan Allah sudah menjatah rizqi kita di dunia dan kaitannya dg parenting. Dia justru nangkep materi yg tdk saya catat sbg catatan penting (bukan berarti ga penting yaa). Dari situ akhirnya malah saya jd beruntung krn dg begitu jd mudah mengingatkan dia utk mengucapkan "yarhamukalloh" ketika ada orang bersin berdasarkan kisah Abu Dawud td.
Intinya, kita sebagai orang tua, punya tugas menjadi pendidik bagi anak2 kita. Namun pada momen tertentu justru kitalah yg dididik oleh anak kita. Terutama dididik ttg cara memahami dan menghargai setiap kemampuan mereka. Never ending learning process in educating them. Semoga ketiganya menjadi qurrota a'yun dan muttaqiina imaama.
Allahumma bariklakum my kiddos heart emotikon heart emotikon heart emotikon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar