Kamis, 26 Oktober 2017

SABAR DAN IKHLASH

Saat saya menyuguhkan sepiring semangka utk para tamu yg menjenguk ibu saya tadi, satu di antara mereka bertanya:
Tamu: Anaknya berapa mbak?
Me: Tiga tante *senyum*
Tamu: Yang paling gede kelas berapa?
Me: kelas 3 SMP *senyum lagi*
Tamu: oh? (agak heran) dah gede yaa?? Mbak nya ini kelahiran berapa toh?
Me: tahun *** (tiiit..) *sensor*
Tamu: hlooh? lak sama ama anak saya..
Me: *senyum*
Tamu: tapi koq keliatan masih muda yaa? kalo anak saya kaya mbok nya (sambil meraba kerutan2 di dahinya). Mungkin suka marah-marah kali ya..?
Me: ah tante bisa ajaa.. (tertawa) *lalu tepuk-tepuk pipi* 
Asli ngakak saya ama kata-kata tamu tadi. Tapi sejurus kemudian di belakang, saya kembali memikirkan kata-kata tamu tersebut. Apa benar ya suka marah-marah itu bikin wajah cepet tua? Lah saya ini juga pemarah loh. Tanya aja anak3 saya hahaha...
Namun, mendadak saya teringat sebuah percakapan seminggu yang lalu dengan salah satu orangtua murid di sekolah si bungsu. Dalam kisahnya dia bercerita perasaan yg dialaminya di awal-awal merawat ibunya yg sedang sakit. Wah mirip dg kisah saya nih, pikir saya. Tapi dia bilang, di awal dia merawat ibunya ada rasa tidak ikhlas pada dirinya yg membuat tekanan darahnya naik tinggi sehingga membuatnya sesak. Kemudian dia mulai memperdalam ilmu agama dengan aktif hadir di kajian keagamaan. Sejak itu dia mulai bisa menerima dan ikhlas dalam merawat ibunya.
Sedikit banyak saya memahami perasaan ibu itu karena kami ada di posisi yg sama yaitu diberi amanah menjaga orangtua di usia senja mereka. Memang betul, kunci utama adalah ikhlas dan itu tak semudah yg diucapkan. Kalau saya ditanya kenapa bisa terlihat santai, ya ga tau juga. Pastinya ini pertolongan dari Allah. Mungkin juga karena saya orangnya cuek kali yaa? Sehingga banyak yg mengira kaya orang yg ga punya masalah. Nah ini yg tidak tepat. Saya sama seperti orang lain, yg diuji Allah dengan masalah. Tapi bukan berarti ditunjukkan ke orang lain kan? Mungkin selain belajar keikhlasan, salah satu hal yg memudahkan saya dalam menghadapi ujian-ujian ini adalah perasaan "senang melihat orang lain senang, sedih melihat orang lain sedih". Berusaha ga iri sama kelebihan yg dimiliki orang lain dan selalu bersyukur apapun yg Allah kasih.
Saya masih suka marah-marah di rumah, itu betul. Saya orang biasa. Sama dengan ibu-ibu yg lain. Setiap orang menerima ujiannya masing-masing sesuai yg Allah kehendaki. Pengin nangis, ya nangis aja. Sepuasnya. Ga usah ditahan. Kalau ga mau dilihat orang apalagi anak sendiri ya masuk kamar tutupi kepala pakai guling trus nangis dalam diam. Dah abis nangisnya ya udah. Lanjut move on. Jangan lama-lama menangisi kesedihan. Do not cry over a spilt milk. Jangan menangisi susu yg tumpah kalo kata orang bule. Tapi bangkitlah, ambil lap, trus bersihkan. Sama kaya masalah yg kita hadapi. Bangkitlah dan selesaikan. 
Caranya gimana? 
Minta bantuan sama Allah. 
Gitu aja? 
Iya, gitu aja hehe... Haqqul yaqin Allah kasih pertolongan 
Dan kita tak pernah tau bahwa bisa jadi pertolongan Allah itu datang dari doa orang2 yg peduli sama kita. Dari tamu-tamu yg datang ke ibu saya, semuanya tak hanya datang untuk menyemangati ibu saya, tapi juga mendoakan saya. Semua berkata dengan redaksi yg sama, "Yang sabar ya mbak. Ini jadi ladang amalmu."
Ada juga yg tak berkata banyak, hanya berucap padaku, "Surga kamu naak.... Surgaa.." 
Dan biasanya mata saya mendadak kelilipan abis gitu hehe... *elap air mata*
*taken from my status on facebook 27-10-2015*
 

2 komentar: