Jumat, 25 Agustus 2017

Aku Ingin Menjadi Yang Sedikit

17 Agustus 2009

Seorang teman bercerita kepadaku tentang kegelisahannya,tentang betapa banyaknya penyakit hati yang menghinggapi diri manusia.
"Aku gak habis pikir Ky,dengan orang2 di kantor. Koq ya doyannya ngomongin orang lain ya?"begitulah temanku itu memulai percakapan kami.
"Ada salah satu karyawan, yang kalau dilihat dari segi gaji seharusnya biasa2 saja, namun ternyata bisa gonta ganti mobil."
"Lalu yang lain dengan mudahnya berkomentar 'Ah,dia pasti korupsi.Kalau nggak, mana mungkin bisa berulang kali ganti mobil?' Aku gerah Ky dengar komentar mereka. Memangnya apa hak mereka men-judge orang seperti itu?Itu sama saja dengan menuduh kan?Padahal bisa jadi rejeki lebih yg dia punya karena dia memiliki usaha sampingan atau bisnis keluarga atau warisan orang tuanya,who knows. Wallahu alam. Iya kan ,Ky?"
Ah,teman. Kegelisahanmu ttg ini sama dengan kegelisahanku. Aku pikir tidak di kantormu saja yang memiliki orang2 yang mudah berprasangka seperti itu. Dan itulah manusia kebanyakan. Senang berprasangka. Menikmati sekali berkomentar pedas tentang seseorang. Ketika seorang pegawai atau karyawan biasa tiba2 berpenampilan wah, kebanyakan orang dengan mudahnya akan berasumsi dengan pendapatnya sendiri2 ttg darimana rejeki itu datang. Loh,yang nyruh jadi komentator itu sapa? wong jelas2 gak dibayar, gak kaya yg di tivi2 itu. Tapi koq menikmati sekali ya?
Teman, aku teringat doa yang dipanjatkan oleh seorang sahabat yg terdengar oleh Umar bin Khattab. "Allahummaj'alni minal qolil". Ya Allah,jadikanlah aku ke dalam golongan yang sedikit. Ya, sedikit yg bersyukur. Bukan golongan kebanyakan. Karena golongan kebanyakan (apalagi di jaman sekarang) lebih banyak kufur nikmat ketimbang syukur nikmat.
Tengoklah ketika seseorang korupsi, pasti sebagian lainnya akan berkata,"Ah,wajarlah. Jaman sekarang kalau gak korupsi nggak bisa kaya. Kalau nggak dari pungli, mana bisa dapet ceperan?"dsb. Namun, apakah kekayaan menjamin kebahagiaan?Kalau iya, lalu mengapa banyak orang kaya yang tidak bahagia?
Ibuku pernah bercerita. Ketika beliau sedang pergi ke rumah sakit untuk periksa kesehatan ayahku, ada seorang bapak yang mengeluh,"Gini ini percuma!Punya uang banyak tapi nggak boleh makan macem2 sama dokter!" Nah,lo!Itukah kebahagiaan yang sesungguhnya?
Demi keuntungan yang berlipat, pedagang di pasar tradisional tak sega mencurangi timbangan. Tapi lihat apa yg terjadi kemudian. Di pasar dekat rumahku,seorang pedagang ikan yang aku tahu pasti mengakali timbangannya (karena setelah aku cek di rumah tidak sesuai dgn berat seharusnya), ternyata anak perempuannya mengidap kanker dan akhirnya meninggal. Lalu ada lagi pedagang ayam berbuat hal yang sama, anaknya ternyata sakit2an. Apakah itu kebetulan? Tidak!Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Memang segala sesuatu itu sudah diatur jalannya. Tapi apa yang terjadi pada kita juga merupakan akibat perbuatan kita sendiri. Kita yang menanam, kita pula yang menuai.

Hal ini terlalu normatif? Ah, tidak juga. Ini masalah keyakinan. Itu yang aku pikirkan. Orang bisa bebas memilih jalan hidup yang mereka mau. Aku pun tak berkomentar tentang itu. Jujur kuakui, ketika temanku bercerita ttg orang2 yang suka berprasangka itu, kukatakan padanya,"Yeah,I've been there" Ya, aku pernah di posisi orang2 itu. Melihat yang senag atau mendapat rejeki, koq susah sekali untuk ikut senang mendengarnya. Yang muncul di hati selalu rasa iri, dengki, tak suka atas kegembiraan yang dialami orang lain. Apakah itu artinya aku cemburu? Ya, obviously!
Tapi teman, aku lega masa2 itu sudah berlalu. Alhamdulillah aku mulai belajar ikut mensyukuri kegembiraan yang dialami orang lain. Aku mencoba berdamai dengan diri sendiri. Apa sih yang kucari dan kuperoleh dari menyimpan penyakit2 hati itu?Hanya kelelahan yang aku dapat. Hanya kemarahan yang aku pendam. Hanya prasangka yang menyesakkan hati yang memenuhi jiwaku.

Allah Maha Menutupi. Tidakkah kita rasakan kasih sayang Allah dalam hal ini? Ketika membohongi suami kita, atau istri kita, atau orang tua kita, atau anak2 kita, apakah mereka tahu? Ketika kita korupsi, atau mencurangi timbangan, atau memungut pungli liar, apakah orang lain tahu?
Tidak. Koq bisa? Karena Allah Maha Menutupi. Allah menutupi aib kita loh!Allah menutupi kesalahan kita. Lalu apa itu berarti kita sedang dibiarkan terus terjerumus dalam dosa? Ah, itu namanya buruk sangka kepada Allah. Naudzubillah! Lalu, apa maksudnya Allah menutupi aib kita?
Itulah kasih sayang Allah kepada makhluknya. Allah tidak membiarkan hambanya malu di hadapan manusia yang lain. Namun itu dengan harapan bahwa hambanya itu masih bisa sadar dan malu pada dirinya sendiri, kemudia bertobat memophon ampunan pada Sang Maha Pengampun. Ya,kita yang sudah berlumur dosa ini saja masih diberi ampun. Masihkah kita meragukan kasih sayang-Nya? Allah jelas2 menutupi aib kita, namun mengapa manusia malah saling membuka aib ya?

Kembali ke cerita dari temanku tadi,ttg orang2 di kantornya. Prasangka yang timbul dari rasa iri dan dengki membuat manusia mencoba mencari-cari kesalahan. Sekecil apapun kesalahan akan dengan mudahnya menjadi besar. Mobil gonta-ganti dibilang hasil dari korupsi. Loh, apa punya bukti?Hati2 lho! Jangan asal menuduh. Kalaupun memang kita melihat perilaku korupsi bukan lalu dibuka habis2an. Apalagi dengan mempermalukan orang di depan umum. Duh, suka banget sih kalau menertawakan dan mempermalukan di hadapan orang banyak? Sepertinya bagi sebagian orang itu hanyalah lelucon belaka. Padahal Allah sudah berjanji, barang siapa yang menutupi aib saudaranya dari manusia yang lain, maka Allah akan menutupi aibnya di hari akhir nanti.
Duhai temanku yang sedang gelisah, biarkan saja mereka berprasangka seperti itu. Tokh kita bukan bagian dari golongan itu. Tunjukkan kita bukan bagian dari mereka. Golongan kebanyakan. Yang paling banyak terjungkal ke neraka. Ups!aku pun tak boleh menghakimi orang2 itu. Maafkan aku Ya Allah. Benar, yang berhak menghakimi hanyalah Allah. Kita tak pernah tahu bahwa orang2 yang tergelincir pada saatnya akan bertobat. Bukankah ada contoh cerita hikmah seorang wanita penghibur masuk surga gara2 memberi minum seekor anjing?Apakah itu dipandang manusia sebagai sesuatu yg adil? Well, keadilan yang sejati ada di tangan Allah SWT. Para pendosa tak selamanya pendosa. Selama masih ada nafas lalu mereka bertobat, mereka bukan lagi seorang pendosa. Dan bukan tidak mungkin dari gelimang dosa para pendosa itu akan menuju gemilang cahaya. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar