Jumat, 25 Agustus 2017

BUKAN ALIEN (TRUE STORY)

5 April 2010

Bocah perempuan itu beberapa waktu terakhir ini mengusikku.Keberadaannya yang bersahaja tak mampu lepas dari benakku. Dua hari yang lalu aku melihat lagi sosoknya setelah sekian lama menghilang. Dulu sekali ketika masih awal2 pindah ke kota ini,dengan setumpuk permasalahan yang memenuhi pundak,sering diri ini merasa sebagai makhluk yang paling sedih sedunia.Ah,lebay amat.Gak sedunia ding,se-RT  aja dulu,hehehe...
Aku sedang bersepeda motor dg ketiga anakku,berkeliling kampung,hingga ke Kota Wisata. Melihat rumah2 yang pilar2nya memenuhi bangunan bersama gedungnya yang megah,membuat diri yg lemah ini tergoda rasa iri.Akankah memiliki rumah semewah itu?
Perjalanan pulang dari Kota Wisata,di sisi sebuah sawah,di situlah kulihat dia.
Anak perempuan yg manis,duduk di pinggir gerobak butut,bersama seorang laki-laki.Kuanggap itu ayahnya. Baju mereka amat lusuh. Gerobak itu penuh dengan barang-barang bekas. Mungkin pemulung. Ada tas sekolah tua tergeletak di tumpukan teratas di gerobak itu. Motorku kuperlambat. Entah mengapa sesuatu menarik pandanganku pada si bocah perempuan itu.
Wajahnya manis. Badannya termasuk kurus. Yah,bagaimana mau gemuk dengan kondisi lingkungan seperti itu. Tapi aku heran dengan wajahnya. Somehow,terlihat ketenangan dibalut keikhlasan dan kepasrahan. Duduk di samping bapaknya yang belum terlalu tua,kurasa pertengahan 30-an,sang anak memandang lembut ayahnya sambil sesekali memijit-mijit badan sang ayah.
Pemandangan itu membuat dadaku sesak. Dasar cengeng! Tapi memang mataku langsung berkaca-kaca melihat moment yang singkat itu. Ku bergegas pulang ke rumah. Aku merasa malu. Pada diriku, pada anak-anakku, dan terutama pada Robb-ku. Beberapa saat sebelumnya hati ini diliputi keinginan akan sebuah rumah mewah di Kota Wisata, yang belum tentu ada manfaatnya bila mampu membelinya. Keinginan-keinginan tersebut seolah membutakan hati barang sejenak yang akhirnya tersadarkan oleh sebuah moment sesaat yang ditunjukkan oleh seorang anak pemulung bersama ayahnya.
Aku langsung beristighfar.

                     ****

Kemudian, tiga hari yang lalu aku melihat bocah pemulung itu lagi. Duduk di pinggir jalan, dekat sebatang pohon yang rindang, masih ditemani gerobak butut dan ayahnya. Jalanan ciangsana yang terik siang itu tak mengusik mereka. Sang anak bersandar di sisi sang ayah,tangannya menyibak-nyibak helaian rambut ayahnya,seperti membersihkan kotoran dari kepalanya. Sementara sang ayah memejamkan mata menikmati usapan sang anak. Wajah laki-laki itu tampak santai, walau kepenatan tak mampu pergi dari air mukanya. Pemandangan sederhana di sebuah sisi jalan, yang mungkin akan dengan mudah diabaikan oleh kendaraan yang berlalu lalang dengan cepat.
Motorku kembali kuperlambat. Ah, anak itu benar-benar mengusikku,pikirku. Hati nurani seolah dipukul-pukul, sementara mata ini seperti tak mampu diperintah, kembali berkaca-kaca. Pemandangan yang mesra begitu, membuatku iri setengah mati. Kedekatan sang bocah dengan ayahnya itu serasa menusukku bagai sembilu, sehingga dukaku akan kehilangan ayahanda bulan September lalu kembali menyeruak. Dan tumpahlah airmataku...

Hari ini aku mengajak ketiga anakku ke Kota Wisata lagi. Bukan untuk mengagumi rumah-rumah mewah di sana loh. Hanya berjalan-jalan santai dengan sepeda motor setiaku ^_^
Dan kulihat lagi dia untuk yang kesekian kalinya. Tak tahan aku hentikan motor. Anak-anakku bingung.
"Kenapa berhenti,Bu?"
"Sebentar,Nak." Aku tak menjawab pertanyaan mereka. Ku melihat arah depan dan belakang, menunggu jalanan sepi dari kendaraan,supaya aku bisa putar balik. Yak,jalanan kosong, kubelokkan motor pelan-pelan mendatangi anak itu.
Dia tampak sendirian. Ke mana gerangan sang ayah? Hanya ada dia dan gerobak bututnya. Kuhentikan motor di pinggir jalan. Sang bocah berdiri memandangku. Kulambaikan tanganku dengan lembut ke arahnya.
"Sini, Nak." sapaku. Dia menghampiriku perlahan. Tepat seperti dugaanku. Wajahnya memang manis. Tapi badannya terlalu kurus. Rambutnya yang sebahu tampak kusam. Namun wajah itu masih setenang yang dulu kulihat.
"Nak,ini ada sedikit buat kamu yaa.." kataku mengulurkan tangan, menyampaikan gulungan kertas yg nilainya mungkin tak seberapa buat bos-bos kaya atau bahkan tak ada seujung kuku MD,namun berarti buatku dan tentunya buat si bocah pemulung itu.
Disambutnya uluran tanganku dan diciumnya punggung tanganku.
"Terima kasih," katanya lirih.
"Namanya siapa?" tanyaku.
"Rina."
"Di sini sama siapa?"
"Berdua sama ayah," jawabnya.
Pertanyaan berikutnya takut aku tanyakan karena takut jawabannya seperti yg aku duga.Tapi tetap aku tanyakan.
"Ibunya mana?"
"Ibu nggak ada."
"Meninggal?" pertanyaan bodoh,pikirku.
"Iya.." dia tertunduk.
Ya Allah...tahan air mata..tahan air mata...
Berulang kali aku mengerjapkan mata supaya bulir-bulir air tak keluar dari pelupuk.
"Lalu, punya kakak atau adik?" tanyaku lagi.
"Nggak ada, cuma saya sama ayah."
Aku diam sejenak. Mengatur nafas untuk mengendalikan keharuan yang begitu kuat menyeruak.
"Rina sekolah?" tanyaku penuh harap.
"Iya, di sana.." dia menunjukkan ke arah belakangnya menggunakan jempolnya dengan jari-jari tergenggam. Aih,sopan sekali anak ini. Semakin haru rasanya.
"Alhamdulillah.." sahutku spontan. Kelegaan melanda hati.
"Rina kelas berapa?"
"Kelas tiga"
"Wah,sama dengan Lala nih. Ayo salaman, kenalan ama Lala."
Aku minta anak-anakku bersalaman dengan Rina. Semuanya mengulurkan tangan tanpa ragu. Yak, begitu Nak. Jangan memandang hina anak yang kekurangan,harapku.
"Trus sekolahnya bayarnya berapa Rin?" aku seolah memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan demi memuaskan keinginan tahuku.
"Sekolahnya gratis. Tapi bukunya bayar," jawab Rina.
"Oh,iya ya. Sekolah negeri kan gratis ya. Tapi bukunya sudah lunas semua Rin," masih belum puas bertanya.
"Sudah lunas," kata Rina pendek.
"Alhamdulillaah.." kembali aku berkata begitu spontan.
"Rina tinggal di mana?" tanyaku lagi, dengan harapan aku akan tahu rumahnya sehingga mudah bila akan mencarinya lagi. Tau apa jawabnya?
"Nggak ada. Masih cari."
Masih cari?? Syok hati ini.
"Lah kalo malam tidur di mana?" desakku.
"Masuk ke rumdis."
Oh,jadi kalo malam dia masuk ke rumah yg tak berpenghuni sehingga bisa dia jadikan bernaung bersama ayahnya kala malam. Oh,Tuhan...mataku semakin pedas.
"Kalau begitu, Rina belajar yang rajin ya. Biar tambah pintar," ah..standar banget komentarku. Tapi aku tak tahu harus berkata apa. Hanya itu yang bisa terpikir dan bisa terucap olehku, di tengah keharuan yang masih mendesak-desak dada.
"Sehat-sehat ya Rin,tante pergi dulu," aku berpamitan padanya, tanpa bertanya-tanya lagi.

Sepanjang perjalan aku terngiang-ngiang oleh perkataan seorang teman dalam komen di statusku tempo hari..Katanya,"Sebaiknya keinginan (pemberian) itu yg bersifat jariyah, bukan semata-mata charity. Sehingga 'kemesraan' si anak dg bapaknya tetap terpelihara. Be within her, not just be with her. Agar si anak tidak merasa Eky adalah Alien yang mencoba berbaik hati."
Untuk saat ini mungkin peran yang kuambil hanyalah sebagai Alien yang berbaik hati padanya, teman. Tentu saja aku ingin kemesraan sang anak dengan ayahnya tetap terpelihara,walau kondisi seperti ini. Tapi aku pun tak ingin selamanya menjadi sesuatu yg asing baginya, Aku bukan alien yg datang dan pergi begitu saja. Aku ingin bisa berbuat sesuatu yg lebih lagi untuk Rina,si gadis pemulung itu. Yah, seperti halnya menjadi seorang teman, tadinya kita adalah asing bagi masing-masing. Namun semua harus diawali dengan satu langkah pembuka. Semoga Eky si Alien bisa berubah menjadi Eky si teman bagi Rina si gadis pemulung. Bi idznillah ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar