Jumat, 25 Agustus 2017

Sepotong Sabar Dalam Sebatang Kayu Bakar

26 September 2009

Kata orang menasihati lebih mudah dari pada mempraktekkannya. Misalnya menasihati tentang sabar. Kalo lagi ada masalah,yang lain pasti bilang, “Sabar bu..” Hmm,sepertinya gampang, tapi cara melatihnya bagaimana ya?
Seorang sahabat pernah bercerita, “Yang menasihati itu gampang aja kalo ngomong tapi gak semua orang mengerti cara melakukan yg dinasihatkan. Maksudnya,tolong kasih tahu step by step untuk memulai yg dinasihatkan itu. Kalo ngajarin ttg sabar, cara melatih sabar itu gimana? Jangan hanya asal kasih tau thok. Kan gak semua orang punya kemampuan untuk belajar sabar.”
Hmm..betul juga. Saya pun tak berpikiran seperti itu. Saya pikir semua orang dikaruniai Allah kemampuan untuk belajar dengan sendirinya. Yah,belajar dari pengalaman maksudnya. Tapi ada beberapa orang yang ternyata butuh bimbingan untuk memulai.
Dan pelajaran ttg sabar secara tidak sengaja saya dapatkan dari seorang teman ketika mudik lebaran tahun ini. Dan sabar itu ternyata ada dalam kayu bakar. Ya, hari gini di jaman serba elpiji dan kompor listrik, masih ada (banyak malah) tempat yang menggunakan kayu bakar untuk memasak. Teman saya itu, sebut saja Bu Ana, adalah ibu rumah tangga biasa, yang biasa tinggal di kota besar seperti Surabaya dan Jakarta, dan biasa menggunakan kompor elpiji untuk memasak, serta terbiasa mengerjakan segala sesuatunya dengan cepat. Time is money, kata orang bule.
Tapi di desa tempatnya mudik, jangan harap bakal ketemu kompor elpiji. Yang tersedia di situ adalah seonggok kayu bakar plus kompor tanah liat. Anglo ya kalo gak salah namanya.

Hari pertama memasak Bu Ana harus berpikir keras untuk mencari cara tercepat menyalakan kayu bakar di tungku itu. Kalo cuma berbekal sepotong korek api dipakai untuk membakar sebatang kayu, mbok ditunggu sampai satu jam ya gak akan bisa! Baru nyala sepotong korek dah mati lagi,padahal kayunya kebakar pun tak. Dia lihat ada sebotol minyak tanah yang tinggal sedikit. Oh siram aja pakai minyak tanah sedikit ke kayu terus nyalakan korek, terus tinggal tunggu apinya besar, beres deh! Begitu pikir Bu Ana. Ah, ternyata gak seberat yang aku kira. I can do this. Bukan aku namanya kalo gak bisa menyelesaikan tantangan ini. Untungnya Bu Ana bukanlah orang yang gampang mengeluh ataupun putus asa. Meskipun sang suami tidak memberi bantuan untuk menyalakan api, Bu Ana tidak protes. Ia pikir ini salah satu cara sang suami untuk memberinya pelajaran ttg kesabaran. Suami Bu Ana memang sering memberi pelajaran hidup dengan cara2 yang mungkin menurut sebagian orang tidak biasa. Tidak dengan kata2 namun langsung dengan praktek dan Bu Ana harus mampu mengambil hikmah di balik batu,eh..di balik kejadian.
Bu Ana memilih-milih kayu bakar mana yg akan dipakainya. Ia mengambil yang pipih ketimbang yang tebal dengan asumsi yang pipih lebih mudah terbakar seluruhnya. Dua potong kayu sepertinya cukup untuk tungku yg kecil itu, pikir Bu Ana. Dituangnya kira2 sesendok makan minyak tanah ke setiap kayu. Ah, beres. Tinggal nyalain pakai korek api nih! Sebatang korek api coba ia nyalakan. Tapi ternyata menyalakan korek api tak semudah yang Bu Ana bayangkan. Di dapur terbuka dengan hembusan angin yg lumayan kencang menjadikan acara menyulut sebatang korek api tak sesederhana yang dikira!!
Sebatang korek, dua batang korek, hingga sampai batang korek ke 5 masih belum nyala. Keringat mulai mengalir di pelipis. Agak panik juga Bu Ana. Pagi mulai beranjak siang tapi Bu Ana bahkan belum bisa menyalakan korek untuk membuat kompor anglo itu menyala supaya ia bisa memulai masak untuk sarapan.
Lima belas menit berlalu. Keringat semakin membanjiri leher dan punggung Bu Ana. Sudah dicobanya sambil menutupi dengan tangan kirinya, menjaga supaya angin nakal tak mematikan harapannya. Maksudnya apinya. Dan akhirnya….wuss!!menyala juga api di kayu pipih itu. Selesaikah sampai di situ? Hohoho…ternyata belum! Namanya juga amatiran (ternyata untuk membakar kayu juga butuh seorang profesional loh!). Belum 5 menit, api itu padam lagi. Baru juga girang mau mulai masak sudah garuk2 kepala lagi. Walah, gimana ini?keluh Bu Ana. Apa yang salah ya? Apa harus dikipasi ya? Ada kipas gak yaa? Ditatapnya sekeliling dapur tapi tak ada kipas yg bisa ditemukan. Pakai apa nih?pikir Bu Ana dengan wajah berkerut. Ah,itu aja deh!sorak Bu Ana dalam hati. Yang ia ambil adalah sebuah tutup panci kecil. Dijepitnya pinggiran tutup itu lalu mulailah ia mengipas kompor yang padam tadi. Meskipun padam tapi dilihatnya ada sedikit bara api di dalamnya. Berarti ada secercah harapan di sana,senyum Bu Ana sambil tertawa geli. Koq aku jadi dramatis gini ya?pikirnya. Padahal cuma api loh?Lalu Bu Ana mulai jongkok di depan kompor itu sambil mengipas bagian bawah kompor tepat di dekat bara api dengan sekuat tenaga. Mendadak abu beterbangan di sekeliling kompor. Waduh!waduh!jerit Bu Anu dalam hati. Masuk wajan nih abunya. Cepat-cepat ia mengipasi bagian atas wajan supaya abu tidak jadi masuk ke wajan. Dikibatkan tutup panci itu dengan kencang dari kiri ke kanan menggunakan tangan kanannya. Lega dilihatnya abu tak jadi masuk ke wajan, Bu Anu lebih berhati-hati mengayun tutup panci itu. Ganti dikipasinya bagian bawah kompor. Lumayan, ia mulai bisa mengontrol kekuatan ayunan tangannya. Bara apinya mulai menyala terang. Tapi koq kobar api belum muncul ya?tanyanya. Tangan kanannya mulai pegal. Dipindahkannya ke tangan kirinya. Dikipas-kipaskannya tangannya. Tapi bara apinya meredup. Wah, kekuatan tangan kiri dan kanan berbeda! Kembali digunakannya tangan kanannya. Digoyang-goyangkannya tutup panci. Bara api kembali bersinar terang. Segera ditambahnya kekuatan ayunan kipas ala tutup panci itu. Ayo,nyala!Ya Allah,mudahkanlah!seru Bu Ana dalam hati. Ya Allah,tidak ada yang sulit bila Engkau sudah memudahkan. Dan Engkaulah yang Maha Memudahkan! Panjatnya dalam doa. Selang beberapa detik kemudian kobar api mulai muncul kecil. Semakin dikencangkannya ayunan tangannya. Ayo, dikit lagi!!Dan akhirnya…berhasil!!

Sambil menyelesaikan suapan terakhir dari nasi goreng plus telor ceplok ke mulutnya, Bu Ana kembali merenungi pengalamannya memasak sepagian tadi. Pengalaman melelahkan yang membuat baju dan rambutnya bau asap! Tapi yang mengherankannya, ia yang biasa kurang sabaran dalam mengerjakan sesuatu ternyata tidak merasakan hal itu. Seolah-olah rasa itu ikut menguap terbakar bersama bara api kompor tradisional yang dihadapinya sedari pagi. Hei,aku bisa sabar juga! Ternyata begitu toh sabar itu, pikirnya. Sambil tersenyum dia berkata dalam hati,’Lah iya, kalau ndak sabar, keluargaku makan apa pagi itu?’ Tapi koq dia juga gak kepikiran untuk memilih jalan pintas, misalnya dengan membeli makanan mateng di warung? Ah, tapi itu tidak penting. Pujian dari anak-anak dan suami bahwa nasi gorengnya enak sekali, sudah lebih dari cukup. Mengunyah santap pagi buat Bu Ana hari itu terasa lebih nikmat dari yang pernah ada. Dipandangnya langit yang biru dari balik jendela sambil tersenyum.Ah, Allah kalo kasih pelajaran hidup sangatlah sederhana. Dari kayu bakar. Namun dari kayu bakar itu terselip ilmu sabar yang sangat berharga baginya. Alhamdulillah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar