Jumat, 25 Agustus 2017

KAIDAH: KONDISI DARURAT MEMBOLEHKAN SESUATU YANG TERLARANG

Oleh: al-Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf hafidzahullah
MUQODDIMAH
Sebenarnya, kaidah ini adalah salah satu cabang dari kaidah (kesulitan mendatangkan kemudahan) yang sudah dibahas secara global pada edisi sebelumnya. (sebenarnya pada blog ini, kaidah-kaidah tersebut belum dimuat, tapi insya Allah jika nanti ada keluangan waktu, kami akan memuatnya, -admin) Namun, kaidah ini harus diangkat kembali sehubungan banyaknya kekeliruan dalam penahaman dan penerapannya.
Alangkah banyaknya orang yang menerjang larangan yang sangat jelas keharamannyadengan alasan kondisi darurat. Misalnya, orang yang karena ‘tuntutan’ pekerjaan sampai tidak bisa shalat Zhuhur dan Ashar, juga seseorang yang ‘terpaksa’ bekerja di perusahaan rokok atau minuman keras. Tatkala dinasihati, dengan entengnya mereka beralasan bahwa ini karena kondisi darurat. Juga seseorang yang bekerja saat bulan Ramadhan tidak puasa, pun beralasan dengan darurat.
Di sisi lainnya, terkadang ada seseorang yang memang benar-benar dalam kondisi darurat, namun ternyata dalam prakteknya kebablasan, sehingga saat kondisi darurat yang menimpa dia sudah hilang, dia ‘keenakan’ dalam kondisi darurat tersebut dalam mengerjakan perkara yang haram.
Dan masih banyak contoh lainnya. Maka dengan ini kita mohon kepada Allah untuk memberikan taufiq kepada kita untuk memahami agama kita yang mulia ini. Wallahu Musta’an.

DALIL ADANYA KONDISI DARURAT DALAM SYARI’AT ISLAM
Banyak sekali ayat dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa kondisi darurat mempunyai hukum tersendiri yang berbeda dengan kondisi normal. Di antara dalil-dalil tersebut adalah:

1. Dalil al-Qur’an
Firman Allah:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡڪُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِ‌ۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٍ۬ وَلَا عَادٍ۬ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang [ketika disembelih] disebut [nama] selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak menginginkannya dan tidak [pula] melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah [2]: 173)
Ayat-ayat yang senada dengan ini banyak sekali, yaitu: al-Maidah [5] ayat 3, al-An’am [6] ayat 119 dan 145, dan an-Nahl [16] ayat 115. Ayat-ayat ini menunjukkan pembolehan mengkonsumsi makan makanan yang haram tersebut dalam kondisi darurat. Dengan ini, semua yang asalnya haram pun bisa menjadi boleh jika dalam kondisi darurat.

2. Dalil as-Sunnah
Kisah Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu. Para ulama tafsir, berkaitan dengan firman Allah dalam QS. An-Nahl [16] ayat 106, meriwayatkan tentang kisah Sahabat Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu ketika disiksa oleh orang kafir. Mereka memaksanya kufur akan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dengan terpaksa Ammar mengikuti kehendak mereka. Kemudian Ammar mengadukan hal itu pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya: “Lalu bagaimana dengan hatimu sendiri?” Ammar menjawab: “Masih sangat mantap dengan keimanan.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika mereka menyiksamu lagi, lakukan seperti yang engkau lakukan tersebut.” Maka Allah menurunkan firman-Nya:
مَن ڪَفَرَ بِٱللَّهِ مِنۢ بَعۡدِ إِيمَـٰنِهِۦۤ إِلَّا مَنۡ أُڪۡرِهَ وَقَلۡبُهُ ۥ مُطۡمَٮِٕنُّۢ بِٱلۡإِيمَـٰنِ وَلَـٰكِن مَّن شَرَحَ بِٱلۡكُفۡرِ صَدۡرً۬ا فَعَلَيۡهِمۡ غَضَبٌ۬ مِّنَ ٱللَّهِ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬
Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman [dia mendapat kemurkaan Allah], kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman [dia tidak berdosa], akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.  (QS. An-Nahl [16]: 106)
Kisah ini sangat jelas menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu –dengan tindakan kekufurannya- tidak menjadikan dia kufur, karena beliau melakukan itu dalam kondisi terpaksa.

3. Dalil kaidah umum syar’i
Masalah kondisi darurat ini masuk dalam keumuman kaidah-kaidah umum, yaitu:
Pertama: Syari’at Islam ini terbangun atas dasar mendatangkan kemaslahatan dan menolak mafsadat.
Kedua: Syari’at Islam dibangun untuk menjaga lima pokok utama yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Ketiga: Syari’at Islam dibangun di atas dasar kemudahan dan menghilangkan kesulitan.
Keempat: Hukum-hukum Islam terbangun atas dasar kemampuan hamba.
Semua kaidah ini sudah kita jabarkan pada edisi-edisi sebelumnya. Silakan ditelaah kembali.


PENGERTIAN “DHORUROT
Dalam istilah, kata dhorurot (darurat) mempunyai beberapa makna:

1. Dalam istilah ahli kalam
Dalam istilah mereka, dhorurot adalah suatu ilmu yang dihasilkan tanpa butuh berpikir dan menelaah. Menurut mereka, ilmu terbagi dua: ilmu yang dihasilkan dengan penelaahan dan berpikir, maka ini disebut ilmu nazhori; sedangkan ilmu yang tidak butuh hal tersebut disebut ilmu dhoruri.
2. Dalam istilah ahli ilmu ‘arudh
Ilmu ‘arudh adalah ilmu untuk menggubah sya’ir berbahasa Arab. Istilah dhorurot menurut mereka adalah sebuah kondisi dimana mereka harus keluar dari salah satu kaidah ilmu nahwu atau shorof agar sesuai dengan timbangan ilmu ‘arudh tersebut.

3. Dalam istilah ulama syar’i
Dhorurot menurut para ulama dimaksudkan untuk dua makna, makna umum dan makna khusus.
Makna umum adalah sesuatu yang harus ada demi tegaknya maslahat agama dan dunia; yang dalam hal ini ada lima, yaitu: penjagaan pada agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dalam makna ini, kebutuhan seseorang itu ada tiga tingkatan: dhoruriyyat, hajiyyat, dan kamaliyyat. Dhoruriyyat adalah lima hal di atas yang tidak akan tegak kehidupan manusia tanpanya.
Hajiyyat adalah sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, namun kalaupun tidak ada maka manusia tidak akan binasa, hanya kehidupannya akan sangat susah.
Kamaliyyat adalah sesuatu yang hanya sebagai penyempurna kehidupan manusia, agar kehidupan mereka menjadi nyaman dan nikmat.
Adapun  dalam makna khusus, dhorurot adalah:
Sebuah kebutuhan yang sangat mendesak yang menjadikan seseorang terpaksa menerjang larangan syar’i.”
Maknanya, kondisi darurat adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendesak, di mana tidak mungkin dihindari yang menyebabkan seseorang menerjang dan melanggar larangan syar’i yang bersifat haram. Dan kalau keharaman itu tidak diterjang maka akan menyebabkan sesuatu yang membahayakan dirinya.
Lalu apakah batas bahaya tersebut? Imam Suyuthi –dalam Asybah wan Nazho’ir- menjawabnya. Beliau rahimahullah berkata:
Dhorurot adalah sampainya seseorang pada sebuah batas di mana jika dia tidak melakukan yang terlarang (haram) maka dia akan binasa atau mendekati binasa. Kondisi inilah yang membolehkan pelanggaran larangan.”
Namun jika tidak sampai pada batas tersebut, maka tidak disebut “dhorurot”, tetapi itulah yang diistilahkan oleh para ulama dengan “hajah”. Imam Suyuthi rahimahullah berkata:
Hajah adalah semacam orang yang lapar yang seandainya dia tidak mendapatkan apa yang dia makan maka dia tidak binasa, hanya saja dia akan mengalami kesulitan dan keberatan. Ini tidak membolehkan perkara yang haram dan hanya membolehkan berbuka saat puasa.”

Sebab-Sebab Darurat:
-          Bila dicermati, akan kita temukan banyak sekali sebab yang menjadikan seseorang berada dalam kondisi darurat. Baik darurat yang ditimbulkan oleh perbuatan orang lain ataupun tidak. Bisa karena kelaparan, berobat dari sakit, saat terjadi kebakaran, tenggelam, kecelakaan, dan lainnya. Namun, semuanya bisa ditarik garis kesimpulan bahwa yang menyebabkan kondisi darurat adalah karena menjaga lima hal yang pokok dalam agama Islam di atas. Demi menjaga agama, pasukan muslim –bisa saja karena terpaksa- membunuh orang tua dan anak-anak jika musuh menjadikan mereka tameng untuk melindungi diri, dan jika tidak demikian maka akan muncul bahaya yang jauh lebih besar atas kaum muslimin.
-          Demi menjaga jiwa dan akal, seseorang boleh memakan bangkai kalau dalam kondisi sangat lapar, yang seandainya tidak makan bangkai tersebut, ia meninggal dunia.
-          Demi menjaga keturunan dan kehormatan, seseorang boleh menyerahkan sejumlah uang tebusan kepada seorang jahat yang menyendera wanita muslimah, yang jika tidak demikian maka dikhawatirkan dia akan merusak kehormatan wanita tersebut.
-          Demi menjaga harta, seseorang boleh merusak hartanya demi menjaga hartanya yang lebih banyak.


SYARAT-SYARAT DARURAT
Tatkala kondisi darurat ini bisa menjadikan seseorang menerjang keharaman, maka kita harus benar-benar hati-hati dan sangat selektif dalam penerapannya. Oleh karena itu, para ulama membuat sebuah garis besar dan syarat-syarat yang harus terpenuhi sehingga kondisi ini disebut kondisi darurat. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Kondisi bahaya besar itu telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun diyakini atau diprediksi kuat akan terjadi.
Maknanya, sesuatu yang membahayakan lima pokok dasar –yang telah disinggung di atas- itu secara yakin atau prediksi kuat telah atau akan terjadi. Di mana kalau tidak menerjang yang haram, maka akan membinasakannya atau minimalnya mendekati kebinasaan.
Atas dasar ini, sesuatu yang hanya prasangka belaka atau masih diragukan, tidak bisa dijadikan dasar dalam menentukan kondisi darurat.
Dalil syarat ini:
Allah mencela prasangka, dalam firman-Nya:
إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٌ۬‌ۖ
Sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. (QS. Al-Hujurot [49]: 12)
Dalam suatu hadits diriwayatkan: Dari Abu Waqid al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu berkata: Kami pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, kami berada di sebuah negeri yang terkena paceklik, maka bangkai apa yang halal untuk kami?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Apabila kalian tidak menyiapkannya sebagai sarapan pagi atau makan sore, maka silakan memakannya.” (HR. Ahmad: 1600 dan dishahihkan oleh Hakim 4/125)
Kaidah umum dalam syari’at Islam, bahwa banyak hukum yang dikaitkan dengan kondisi yakin atau predikat kuat. Namun, jika hanya prasangka belaka maka sama sekali tidak digubris.

2. Tidak bisa dihilangkan dengan cara yang halal.
Maknanya bahwa bahaya itu tidak bisa dihilangkan kecuali dengan cara haram, dan tidak ada satu pun cara halal yang bisa mengatasinya. Namun, apabila ditemukan cara yang halal meskipun dengan kualitas di bawahnya, maka harus dan wajib menggunakan cara halal tersebut.
Dalil syarat ini, firman Allah Ta’ala:
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (QS. At-Taghobun [64]:16)
Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang harus mengerahkan apa yang dia mampu untuk bertaqwa pada Allah, dan dalam masalah ini untuk meninggalkan yang haram. Apabila ada cara yang dihalalkan maka sama sekali tidak boleh yang haram, dan tidak ada alasan darurat.
Dari Jabir bin Samuroh radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seseorang yang tinggal di sebuah lembah bersama istri dan anaknya. Lalu ada seseorang yang berkata (kepadanya): “Untaku hilang, jika engkau menemukannya maka ikatlah.” Dan laki-laki itupun menemukannya namun tidak menemukan pemiliknya. Lalu unta itu sakit. Istrinya berkata: “Sembelihlah ia.” Namun suaminya tidak mau, sehingga unta itu mati, lalu istrinya berkata: “kulitilah sehingga kita bisa membuat dendeng dagingnya lalu kita makan.” Dia menjawab: “ Saya tidak akan melakukannya hingga saya bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau balik bertanya: “Apakah engkau memiliki lainnya?” Dia menjawab: “Tidak” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Makanlah.” (Hasan. HR. Abu Dawud: 3816)

3. Ukuran melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan sekadarnya saja.
Maksudnya bolehnya melakukan yang terlarang saat kondisi darurat tersebut, hanya sekadar untuk menghilangkan bahaya yang menimpa dirinya saja. Jika bahaya tersebut sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukannya. Allah berfirman:
فَمَنِ ٱضۡطُرَّ غَيۡرَ بَاغٍ۬ وَلَا عَادٍ۬ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ۬ رَّحِيمٌ
Barangsiapa dalam keadaan terpaksa [memakannya] sedang ia tidak menginginkannya dan tidak [pula] melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.al-Baqarah [2]: 173)
Atas dasar ini, orang kelaparan yang kalau tidak makan bangkai akan meninggal dunia maka boleh makan sekadar untuk menyambung hidupnya saja. Tidak boleh sampai kenyang.

4. Waktu melanggar larangan saat kondisi darurat ini tidak boleh melebihi waktu darurat tersebut.
Artinnya, kalau kondisi itu sudah hilang maka tidak boleh lagi melakukan perkara terlarang tersebut. Itulah yang sering diistilahkan oleh para ulama dalam sebuah kaidah: “Apa yang boleh dilakukan karena ada udzur, maka akan batal apabila udzur itu sudah tidak ada.”
Contoh: orang yang tidak menemukan air atau tidak bisa menggunakan air boleh bertayamum, namun kalau kemudian ada air maka tidak lagi tayamum dan harus berwudhu. Begitu pula jika sudah bisa menggunakan air, maka tidak boleh lagi bertayamum.

5. Melanggar sesuatu yang terlarang dalam kondisi darurat tersebut tidak akan menimbulkan bahaya yang lebih besar.
Wallahu A’lam.
Sumber: majalah AL FURQON no. 108, Edisi 05 Tahun Kesepuluh, Dzulhijjah 1431 H, hlm. 29-32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar