Jumat, 25 Agustus 2017

GAYA MAKAN

14 Mei 2010

Siang itu Bu Arif pergi ke sebuah mal di tengah kota bersama ketiga buah hatinya. Mumpung lagi tanggal merah, pikirnya. 
Setelah menemani anak-anaknya bermain di tempat permainan ternama sampai puas, Bu Arif menggiring mereka ke resto pizza di lantai 4. Sepanjang perjalanan, ketiga bocah itu berceloteh riang, merencanakan jenis pizza yg akan mereka makan. Duh, senangnya hati Bu Arif melihat wajah-wajah polos yg berseri-seri itu.
Begitu duduk, si bungsu langsung pesan pizza yg diincarnya.
“Yang itu loh,bu,yang seperti di tipi!”serunya.
Bu Arif geleng-geleng kepala sambil tersenyum lembut padanya.
“Nak, ibu pesen yg seperti biasa aja ya, biar kecil-kecil tapi banyak. OK?”
Si bungsu mengangguk.
Setelah 15 menit menunggu akhirnya pesanan mereka datang juga. Bu Arif membagikan dgn sabar ke ketiga anaknya bagian yang sama rata. Karena resto itu adalah resto pizza ternama, di atas mejanya yang tersedia adalah pisau dan garpu. 
“Nak,” tutur Bu Arif,”ini yang ada kan pisau ama garpu ya, kalau orang barat makannya kan pakai pisau garpu.Pisau di tangan kanan, garpu di tangan kiri.”
“Oh,aku tau bu!”si tengah menyela,”pisaunya untuk motong terus garpunya untuk makan kan?”
“Betul ,Nak. Tapi, tolong perhatikan ini. Kalau pisau di tangan kanan dan garpu yang dipakai untuk makan, maka kita makan pakai tangan kiri, dan itu salah, Nak. Ibu sudah menyampaikan pada kalian untuk tidak makan menggunakan tangan kiri. Dalam agama Islam, kita diajarkan untuk makan dengan tangan kanan dan hukumnya adalah wajib. Karena yang makan dengan tangan kiri adalah setan. Tentunya kita tidak ingin meniru perilaku setan karena kita bukan temannya setan. Ingat kan?”tanya Bu Arif lembut.
“Iya ,Bu. Tapi garpunya bisa dipindah ke tangan kanan setelah kita selesai motong pizzanya. Pisaunya kan bisa kita taruh ,Bu,” si tengah menyahut lagi.
“Pinter kamu,Nak! Betul itu, kita bisa melakukan yang seperti itu,”kata Bu Arif.
Anak perempuannya itu tersenyum puas. Lalu ia pun mulai memotong bagiannya, dan seperti yang ia katakan semula, setelah memotong menggunakan pisau dengan tangan kanannya, diletakkannya pisau itu dan ia mulai menusuk potongan pizza dengan garpu yang diambil dengan tangan kanannya dan menyuapkannya ke dalam mulutnya. Bu Arif tersenyum senang melihatnya. Sementara itu, Bu Arif mulai melahap pizzanya memakai tangannya, tak dipotong dengan pisau ataupun garpu. Diambilnya sepotong lalu digigitnya ujung pizza itu. 
“Kalau ibu nih,” kata Bu Arif setelah selesai mengunyah gigitan pertama tadi, ”lebih suka makan pakai tangan apabila yang tersedia di meja hanya pisau dan garpu.”
Si kakak yang sedari tadi seperti kesulitan memotong pizza dengan pisau menatap wajah ibunya dengan serius, ”Kenapa begitu,Bu?”
“Iya. Karena Nabi Muhammad saja makan dengan tangan bahkan sambil menjilat jari-jari beliau. Karena kita tak pernah tahu barokah makanan yang kita makan ada pada jari-jari yang mana. Dalam setiap makanan yang kita makan ada barokahnya. Kita ga pengin kehilangan barokah dari makanan kita tentunya.”
Masih dengan wajah serius si kakak mendengarkan sambil manggut-manggut.
“Gaya makan menggunakan pisau dan garpu,” lanjut Bu Arif, ”adalah cara makan budaya barat. Memang resto ini dari barat sana sehingga menggunakan cara makan ala barat.”
“Kita tak usah malu dilihatin orang di sekitar sini karena kita makan pakai tangan,Nak.” kata Bu Arif lagi.
“Ibu tahu beberapa pelayannya ngeliatin ibu tadi karena ibu makan pakai tangan. Yah, kali aja dipikirnya ibu gak bisa makan pakai pisau garpu. Ibu sih tak malu, Nak. Ibu santai saja dilihatin kaya gitu. Kita makan dengan teratur koq, gak yang belepotan atau jorok. Kalau suatu saat nanti kalian ada yang nanyain kenapa makan pakai tangan begitu saat makan, bukan cuma pizza, kalian jawab ya dengan tegas ‘saya muslim, nabi saya makan pakai tangan, dan beliau tetap mulia hingga akhir jaman!’ ndak usah malu,Nak. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam wasiatnya kepada Abu Dzar,’Wahai Abu Dzar! Aku mengenakan pakaian yang kasar, duduk di atas tanah, menjilati jari-jariku, menunggangi keledai tanpa pelana, dan memboncengkan seseorang di punggungku. Barang siapa yang membenci Sunnah (jalan hidup)-ku maka ia bukanlah dari golonganku. Wahai Abu Dzar! Kenakanlah pakaian yang jelek dan kasar agar sifat sombong tidak menemukan jalannya di hatimu.’ Begitulah nak, sabda nabi kita.”
Ketiga anaknya terdiam mendengarkan penjelasan ibunda mereka. Bu Arif dalam hati berdoa semoga anak-anaknya mengerti yang sedang ia jelaskan.
“Hari ini ibu mengajak kalian ke sini bukan untuk foya-foya loh! Bukan berarti kita bisa sering-sering datang ke tempat ini. Ibu tak ingin seperti itu. Tapi maksud ibu mengajak kalian makan di sini yah untuk sekali waktu adakalanya biar kalian tahu kita sedang ada rejeki lebih, dan kita juga mampu makan di tempat seperti ini, bukan untuk gaya-gayaan, tapi lebih karena untuk mensyukuri rejeki yang diberikan Alloh SWT. Tapi gak sering ke sini loh , Nak. Karena masih banyak orang-orang yang tak mampu makan di resto ini, jadi ibu ingin kalian lebih bersyukur dikasih kesempatan begini.” tutur Bu Arif mengakhiri penjelasannya.
Lalu mereka berempat asyik menyelesaikan makanan mereka. Sekali-sekali Bu Arif melirik sekeliling, dan benarlah seorang pelayan sedang menatapnya. Sang bunda hanya tersenyum simpul sambil kembali menundukkan kepalanya seiring tangannya memasukkan potongan pizza yang tersisa. Dilihatnya ketiga anaknya lahap menghabiskan makanan di atas meja. Ketika si bungsu hendak minum, diambilnya gelasnya, dan diminumnya dengan tangan kanannya. Alhamdulillah…,katanya dalam hati, anakku yang paling kecil rupanya paham untuk minum juga menggunakan tangan kanan. Bu Arif menghela nafas sambil menatap si bungsu lembut.
“Kalian tahu, kalian juga bisa menjadi contoh bagi yang lain di resto ini. Bisa jadi ada orang yang baru pertama kali datang ke resto pizza lalu kebingungan waktu lihat di meja tak ada sendok, ia tak pernah menggunakan pisau garpu sebelumnya, tapi malu bila ketahuan tak bisa pakai pisau garpu. Dengan melihat kalian, orang itu mungkin agak lega karena ternyata ada yang makan pakai tangan tanpa malu-malu. Karena ibu lihat tadi ada satu keluarga yang baru masuk sini, salah satunya seperti celingak-celinguk, dengan wajah ragu-ragu, seperti kurang nyaman berada di sini. Nah, kita bisa tunjukkan bahwa tak ada yang salah dengan makan pakai tangan di sini, tak perlu malu, malah kalau perlu dengan wajah bangga kita tunjukkan kita nyaman makan menggunakan tangan kanan. Kalian tak malu kan, Nak?” tanya Bu Arif.
“Nggak koq bu!”sahut mereka bertiga mantap.
“Bagus,Nak!” katanya dengan bangga melihat kesungguhan di ketiga anaknya.

Di jaman sekarang ini, di mana segala sesuatu seringkali dinilai dengan materi dan keduniawian, Bu Arif tak ingin anak-anaknya terjebak dalam perilaku konsumtif, yang nantinya bisa mengarahkan ke sifat takabur. Ia ingin anak-anaknya bisa bersifat tawadhu (rendah hati), namun tetap bisa merasakan kenikmatan yang Alloh SWT berikan dengan penuh rasa syukur. Bu Arif ingat dalam sebuah pengajian sang ustadz mencontohkan tiga doa yang sering dibaca Nabi Muhammad SAW, sebagai contoh dari rasulullah untuk mengajarkan sifat tawadhu. Ketiga doa itu adalah, yang pertama, ”Ya Alloh, jadikanlah aku miskin.” Yang kedua, “Ya Alloh, dekatkanlah aku dengan orang miskin.” Dan yang ketiga, “Ya Alloh, matikanlah aku dalam keadaan miskin.” 
Subhanalloh, ketika mendengar doa-doa itu pertama kali, Bu Arif merinding tubuhnya. Ya Alloh, doa yang sederhana, tapi terus terang belum berani kupanjatkan semua. Baru doa kedua yang berani kupanjatkan, Ya Alloh, serunya dalam hati. Yah, ini juga masih proses untuk memberi pengajaran pada anak-anaknya. Dan masih perlu memantapkan dalam dirinya, memulai dari dirinya sendiri. Mudah-mudahan Bu Arif dapat menjadi contoh yang baik bagi putra-putrinya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar