Jumat, 25 Agustus 2017

SUARA HATI

4 Agustus 2009

Sore itu aku sedang menemani anak2ku mengaji di TPA,di sebuah masjid yang juga memiliki TK,SD dan SMP. Siswa SMPnya masuk siang hari karena bergantian kelas dengan yang SD. Saat itu waktunya pelajaran olahraga. Memperhatikan para siswi berkerudung asyik bermain lompat tali dari karet aku tersenyum sendiri.Hey,itu permainanku waktu SD loh,begitu pikirku.And I was good in that,sambil tertawa dalam hati. Senang rasanya meilhat wajah2 gembira mereka yang belum disibukkan oleh berbagai pikiran yg mungkin berkecamuk dalam urusan rumah tangga seperti yg kualami saat ini. Yah,masa remaja memang indah.
Tapi aku terusik manakala melihat ke suatu sudut. Di situ ada beberapa siswi yg lain sedang bercakap-cakap dengan dua orang guru pria. Mungkin guru olah raganya,pikirku. Hmm,aku mengenali salah satu dari guru itu. Yah,Pak S. Dialah yg membuatku dengan terpaksa memindahkan anakku dari SD situ ke SDnya sekarang. Aku menilainya sebagai guru yg -istilah halusnya-kurang pantas menjadi guru. Berawal dari perdebatan di rapat komite sekolah saat itu. Perdebatan muncul seputar dari keberatan walimurid dengan pembelian buku pelajaran olah raga untuk anak2 kelas satu yang tak pernah dipakai saat pelajaran. Wali murid menganggap buku tersebut mubadzir,di samping harganya yg relatif mahal (kebanyakan wali murid situ dari menengah ke bawah),sebagian besar siswa kelas satu juga belum bisa membaca,namun dipaksakan membeli. Aku termasuk yg mengeluarkan pendapat saat itu. Kukatakan padanya bahwa pelajaran olah raga tak perlu buku pelajaran karena tokh yg dilakukan adalah praktek, bukan teori. Apa jawabannya? Pak S bilang,"ibu2 mau anak2nya pinter apa ndak?kalo anak2 belum bisa membaca ya itu bukan tanggung jawab saya. Saya hanya memilihkan buku yg digunakan di pelajaran saya!" itu dikatakan dengan cueknya. Loh?aku bengong. Pertanyaan yg bodoh pikirku. Tentu saja semua orang tua ingin anak2nya pinter,tapi dengan jawaban seorang guru seperti itu,yg sangat tak bijak dan arogan serta tak bertanggung jawab. Yang dia kejar hanyalah komisi dari hasil penjualan buku pelajaran olah raga itu. Everybody knew that! Saat itu juga kuputuskan,aku tak bisa menyerahkan pendidikan anakku pada orang yg tak bisa berkata secara terdidik seperti itu. Maka aku pindahkan sekolah anakku.
Kenangan itu kembali muncul saat aku melihatnya sore itu. Pak S ,seperti yg tampak dalam pandanganku, bersenda gurau dengan siswi2 yg membuat para siswi sedikit bersikap -in my point of view- kecentilan dan less respect thd apa yg sebenarnya sbg figur guru. Siswi2 itu tertawa lebar, berkata-kata dengan lantang, tak jarang disertai kata2 yg kuyakini umpatan lokal. Padahal mereka dalam balutan seragam muslimah. Hati nuraniku terusik. Gerah dan risih rasanya melihat gadis2 itu tidak mengetahui cara berbicara yg sopan terhadap guru, ataupun cara berbicara yg setidaknya menandai dia menghargai dirinya sendiri. Kalo gadis2 itu berbicara dengan -maaf- urakan dan tidak menghormati dirinya sendiri, bagaimana dia akan dihormati oleh laki-laki?bagaimana kelak ia bisa mendapatkan laki-laki terhormat dan sholeh?
Aduh,gemes hatiku rasanya. Aku tak henti2nya menatap mereka. Mereka mengetahui aku menatap terus menerus. Sesekali mereka mencuri pandang dengan tatapan yg agak curiga melihatku yg terus menatap mereka. Entahlah. Apa yg salah dalam diriku. Hatiku merasa this is not right. I can't watch this. Tapi suara lain juga muncul di hatiku dan berkata,"eh biarin aja lagi. Bukan urusan kamu soal moral mereka terhormat atau enggak. Urus aja anak2mu sendiri." Bener juga ya. Ngapain juga gemes and risih. Kayak aku paling bener sedunia aja? Tapi muncul suara hati lain yg berkata,"kamu selama ini banyak mengikuti pengajian. Banyak membaca buku. banyak memperoleh pelajaran ttg perilaku islami. kalo ilmu itu kamu simpan sendiri, maka Allah akan membencimu!"
"benarkah?"
"Ya. Bukankah sudah dikatakan oleh Nabi Muhammad 'sampaikanlah walau satu ayat', kebenaran itu memang pahit. Tapi ibarat obat. Untuk kesembuhan. Untuk kebaikan. Mereka harus tahu bahwa muslim itu dikenal sebagai pribadi yang santun. Bukan biyayakan dan banyak omong. Apalagi untuk wanita. Suara seorang wanita adalah aurat. Kamu tahu itu"
"Tapi aku tak mau berkonflik. Aku tak siap berkonflik. Apalagi sampai menjatuhkan dan menjelek-jelekkan orang."
"Bukan. Nabi Muhammad pun menegur sahabatnya ketika salah dan tanpa sampai menjatuhkan harga diri sahabat tersebut. Kamu pasti bisa. Ada cara yg baik. Ayo, langkahkan kakimu ke arah kebaikan"
"Ibu..ibu!!aku sudah selesai!"lamunanku buyar tatkala panggilan dari anak perempuanku menyentak pikiranku."Ibu kenapa, koq ngelamun?"kata anakku.
"Ah,nggak papa nak. Oya, kamu mau tunggu sebentar nggak?Ibu mau ke kantor situ sebentar."
"OK bu"
Aku memantapkan diriku. It's now or never. Aku lakukan sekarang ato kalau tidak aku akan menghabiskan sisa hari ini dengan penyesalan yg tak terbayar. Baiklah, here we go, aku meyakinkan diriku.
Kuhampiri kantor guru. Ada dua orang guru wanita. Lebih tua dariku. Kuucapkan salam pada mereka.
"Assalamu'alaikum bu"
"Wa alaikum salam. Ada yang bisa dibantu bu?" tanya yg lebih tua.
"Anu, maaf mau tanya,"tiba2 keraguan muncul di hati. Tapi kepalang basah nih! "Itu yang baju merah pak siapa ya bu?"
"Kenapa memangnya bu" Si ibu guru balik bertanya tanpa menjawab pertanyaanku.
"Ah,tidak apa-apa"aku bingung, kehabisan kata2.
"Loh, kenapa bu. Bilang aja. Apa perlu saya panggilkan yg bersangkutan?"
"Jangan!Jangan bu. Saya ndak kenal secara pribadi. Aduh, bingung mo ngomongnya"
Lalu ibu guru yg tua tadi menuntunku masuk ke kantornya,"Masuk sini saja bu kalo ndak enak. Ada apa, katakan saja sama saya. Saya ndak apa-apa. Lebih baik dikatakan langsung sama saya daripada nanti anda mengekspos ke mana-mana."
"Hah? ndak bu! sungguh saya ndak ada niat untuk ekspos. Hanya saja saya ragu karena tak mau menjelek-jelekkan orang. Tapi baiklah akan saya katakan." Lalu kusampaikan semua yg aku lihat dan aku rasakan sedari tadi duduk sambil menanti anak2 mengaji.
"Oh, begitu. Sebenarnya kami sendiri juga sudah rasan2 dari tadi. kami berdua juga melihat itu. Dan dengan adanya masukan dari anda maka kami akan menegur yg bersangkutan"
"Tapi bu. Saya mohon maaf loh. Karena mungkin saya terlalu lancang. Hanya saja saya ndak bisa bohong sama hati saya. Ndak enak rasanya ngelihatnya bu. Mungkin saya sok idealis ya bu. Sekali lagi saya mohon maaf"
"Oh ndak papa bu. Kami terima kasih sekali ada masukan ini. Supaya kami juga bisa mendidik anak2 kami lebih baik baik lagi. Ini sekolah Islam, tentunya akhlaknya pun harus Islami, dimulai dari hal2 yg kecil sekalipun"
"terima kasih bu. Saya lega sekarang"
Akhirnya aku pamit kepada dua bu guru yg bijak itu. Benar rupanya. Kebenaran itu terkadang pahit. Dan berat untuk dijalankan ataupun dikatakan. Tapi sekali kita menyampaikan kebenaran itu, beban berat itu segera sirna. Keragu-raguan yg sempat mampir segera hilang. Aku meyakinkan diriku sendiri kemudian, untuk tidak berhenti menyampaikan kebenaran itu. Bahwa dakwah adalah kewajiban. Bahwa dakwah adalah menyampaikan. Bila sudah disampaikan, rasanya seperti membayar hutang.Ah, leganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar